Setelah molor hingga berbulan-bulan, penjualan bisnis TikTok di Amerika Serikat ke Oracle dan Walmart ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.
Hal ini karena pemerintahan Joe Biden sedang meninjau kembali upaya pemerintahan Donald Trump untuk menangani potensi risiko keamanan dari perusahaan teknologi asal China.
Tapi ByteDance selaku perusahaan induk TikTok tetap melanjutkan pembicaraan dengan Commitee on Foreign Investment in the U.S. (CFIUS), menurut laporan dari Wall Street Journal yang mengutip sumber yang familiar dengan isu tersebut.
Dalam briefing di Gedung Putih, Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pemerintahan Biden belum mengambil langkah baru terkait dengan penjualan TikTok.
"Tidak akurat untuk mengatakan bahwa ada langkah proaktif baru dari Gedung Putih Biden. Ada proses CFIUS ketat yang sedang berlangsung," kata Psaki, seperti dikutip dari CNBC, Kamis (11/2/2021).
TikTok pertama kali dipaksa menjual bisnisnya di AS setelah pemerintahan Donald Trump menuduh ByteDance bisa saja memberikan data pengguna AS ke pemerintah China. TikTok telah beberapa kali membantah tuduhan tersebut.
Trump kemudian mengeluarkan perintah eksekutif pada 6 Agustus yang melarang perusahaan AS untuk bertransaksi dengan TikTok kecuali mereka berhasil menyelesaikan masalah keamanan tersebut.
Pada September 2020, TikTok kemudian mencapai kesepakatan dengan Oracle dan Walmart yang menjadikan Oracle sebagai 'mitra teknologi terpercaya' TikTok. Dalam kesepakatan ini, kedua perusahaan juga membeli saham TikTok tapi ByteDance masih akan memiliki 80% dari bisnis TikTok.
Tapi pembicaraan tersebut mandek dan tenggat waktunya telah diperpanjang hingga dua kali. Setelah membawa kasus ini ke ranah hukum, pengadilan federal melarang pemerintah AS untuk memblokir operasi TikTok di AS.
https://cinemamovie28.com/movies/leftovers/
Ngeri, Konsumsi Listrik Bitcoin Setara Negara Argentina
Makin melonjaknya harga bitcoin, dilaporkan sudah tembus USD 50 ribu, membuat aktivitas penambangannya kian pula meningkat. Bahkan dalam penelitian terbaru, konsumsi listrik tahunan akibat penambangan bitcoin lebih besar dari kebutuhan listrik negara Argentina.
Riset itu dilakukan oleh para peneliti di University of Cambridge, Inggris. Penambangan mata uang digital seperti bitcoin memang haus daya komputer. Konsumsi listriknya sekitar 121.36 terawatt per hours (Twh) dan belum ada tanda-tanda penurunan. Angka itu setara dengan konsumsi listrik di Argentina.
Apalagi harga bitcoin melonjak setelah perusahaan mobil listrik Tesla mengumumkan pembelian bitcoin senilai USD 1,5 miliar. Keputusan itu disebut mengabaikan dampak lingkungan karena penambang bitcoin bekerja lebih giat.
"Memang desainnya seperti itu bahwa bitcoin mengkonsumsi listrik begitu banyak. Hal ini tidak akan berubah di masa depan kecuali harga bitcoin menurun secara signifikan," cetus Michel Rauchs, peneliti di The Cambridge Centre for Alternative Finance.
Selain Argentina, konsumsi listrik bitcoin melebihi negara Belanda, Uni Emirat Arab dan mendekati Norwegia. Situasi ini dipandang cukup mencemaskan.
"Bitcoin itu anti efisiensi. Hardware penambangan yang lebih efisien takkan membantu karena akan tetap berkompetisi dengan hardware efisien lainnya," papar Rauchs.
"Artinya penggunaan energi bitcoin dan produksi CO2-nya hanya akan terus bertambah. Sangat buruk semua energi ini jadi terbuang," tambahnya seperti dikutip detikINET dari BBC, Kamis (11/2/2021).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar