YouTuber Atta Halilintar mengumumkan dirinya kembali positif Corona. Ia pun menyampaikan CT Value miliknya berada di angka 30-an dan tidak mengalami gejala COVID-19.
"Hari ini CT ku 30 an dan aku tanpa gejala... Semoga cepet sembuh ga turun CT-nya," tulis Atta Halilintar dalam postingan di akun Instagram miliknya.
Menurut pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo, hasil CT Value bisa menggambarkan banyak atau tidaknya jumlah virus di dalam tubuh.
Seberapa penting CT Value dalam pemeriksaan COVID-19?
Dikutip dari laman RSUI, hasil CT Value menunjukkan perbandingan yang terbalik dengan kemampuan virus untuk menular. Artinya, semakin tinggi angka CT Value, maka semakin rendah kemungkinan virus untuk menginfeksi.
Maka dari itu, tak sedikit dokter yang menggunakan hasil CT Value sebagai salah satu acuan untuk menentukan tingkat keparahan COVID-19. Misalnya, hasil CT Value digunakan untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat atau hanya melakukan isolasi mandiri.
Namun, hasil CT Value tinggi juga bukan berarti kondisi pasien tersebut aman dari risiko keparahan COVID-19. Pasalnya, jumlah virus yang sedikit bisa menandakan dua hal, yakni infeksinya sudah mau berakhir atau justru baru memasuki tahap awal.
"CT Value itu tidak serta merta jadi patokan bahwa kalo CT tinggi berarti sudah aman. Belum tentu, karena ada faktor klinis," ujar dr Enty, SpMK, dokter mikrobiologi klinis dari Intibios Lab, beberapa waktu lalu.
https://trimay98.com/movies/holy-weapon/
Masya Allah, Ada Hujan Berlian di Neptunus dan Uranus
Membayangkan turun hujan berlian terdengar seperti dongeng. Tapi di planet lain, hujan berlian adalah fenomena alam yang benar-benar terjadi seperti hujan air di Bumi.
Planet tersebut adalah Neptunus dan Uranus. Keduanya adalah 'raksasa es' di Tata Surya. Disebut demikian, karena dua lapisan terluar Neptunus dan Uranus terdiri dari senyawa yang mencakup hidrogen dan helium.
Warna kebiruan kedua planet ini juga disebabkan oleh jejak metana di sekitar atmosfernya, membuktikan bahwa mereka memiliki es dingin di bagian dalamnya. Jika demikian, mungkinkah hujan berlian itu nyata? Para ahli menjawab, ya.
Terbentuknya hujan berlian
Para ahli percaya bahwa panas dan suhu yang hebat di bawah permukaan es raksasa memecah senyawa hidrokarbon. Dengan cara ini, karbon akan dikompresi menjadi berlian dan akan tenggelam lebih dalam lagi menuju inti planet.
Kesimpulan ini dibuat dengan menggunakan SLAC National Accelerator Laboratory LINAC Coherent Light Source (LCLS) X-ray laser. Karena planet ini juga memiliki metana, ilmuwan memprediksi bahwa setelah terurai, hujan berlian terjadi dari materi yang padat.
"Kami sekarang memiliki pendekatan baru yang sangat menjanjikan berdasarkan hamburan sinar-X," kata fisikawan Dominik Kraus dari Helmholtz-Zentrum Dresden-Rossendorf di Jerman yang memimpin penelitian tersebut, dikutip dari Tech Times, Selasa (13/4/2021).
Disebutkannya, eksperimen mereka memberikan parameter model penting di mana sebelumnya, para peneliti hanya bergantung pada ketidakpastian yang sangat besar. Penelitian ini pun akan menjadi semakin relevan dengan semakin banyak exoplanet yang ditemukan.
"Dalam kasus raksasa es ini, kita sekarang tahu bahwa senyawa karbon hampir secara eksklusif membentuk berlian ketika terpisah dan tidak mengambil bentuk transisi fluida," tambah Kraus.
Bisakah kita ke sana melihatnya? Sayangnya kita tidak bisa pergi ke Neptunus dan Uranus untuk sekadar menyaksikan hujan berlian bahkan mengumpulkan butiran hujannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar