Seorang perawat asal Amerika Serikat (AS), Chesley Earnest membagikan kisahnya yang menakutkan saat menangani pasien virus corona. Ia mengatakan hampir semua pasien bergejala berat memiliki mata yang memerah.
Dikutip dari CNN, mata itulah yang menjadi salah satu tanda paling penting ketika Earnest dan staf lain di Life Care Center of Kirkland, Washington, berjuang untuk melawan virus corona.
"Itu adalah sesuatu yang saya saksikan pada mereka semua (pasien). Mereka memiliki seperti mata alergi, bagian putih mata memerah," kata Earnest.
Menurutnya selama ini pada edaran yang dibagikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), mata memerah tidak pernah tertulis sebagai salah satu gejala virus corona.
Hingga akhirnya pada Minggu (22/3/2020), American Academy of Ophthalmology mengirimkan peringatan kepada semua tenaga medis bahwa virus corona dapat menyebabkan konjungtivitis. Artinya mata dan sekitarnya menjadi merah, sehingga mereka perlu lebih hati-hati dalam merawat pasien agar tidak tertular.
"Ada pasien yang hanya memiliki mata merah sebagai satu-satunya gejala yang kami lihat di rumah sakit, dan ia telah meninggal," ucap Earnest.
Earnest pun menceritakan sebuah kisah yang lain, ketika ia bertugas di malam hari dan sedang berjalan ke salah satu kamar pasien semuanya tampak baik-baik saja. Namun empat jam kemudian pasien tersebut mengalami kesulitan bernapas.
"Dia sedang duduk dan makan semuanya tampak baik-baik saja. Bahkan dia tidak memiliki gejala dan tanda vitalnya sabil. Tetapi pada pukul dua pagi, laju pernapasannya meninggi, saturasi oksigennya kurang dari 80," jelas Earnest.
"Dia sangat kaku, wajahnya memerah dan matanya merah. Dia benar-benar kesulitan untuk bernapas. Semenjak itu aku menyadari bahwa mata adalah isyarat visual, dan batuk kering adalah gejala yang terdengar," tuturnya.
Pandemi Corona 'Ganggu' Penanganan TBC, Ahli Sarankan RS Dipisah
Tuberkulosis (TBC atau TB) di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 1 Mei 2019 ditemukan sebanyak 845 ribu kasus dan perkiraan 32 persen yang belum ditemukan. Belum selesai TBC, Indonesia pun harus berhadapan dengan pandemi corona.
Komite Ahli TB Indonesia, dr Pandu Riono, MPH, PhD, pun mengatakan pengobatan TBC jadi terganggu. Ia mengimbau jangan sampai layanan hanya fokus pada penanganan corona saja, semua layanan harus menjadi prioritas.
"Untuk pengobatan TB itu terganggu, fokus perhatiannya terpecah jadi bisa saja layanan TB yang sedang kita lakukan ini terhambat. Banyak juga teman-teman yang dokter paru di rumah sakit seharusnya bisa menangani TB terpaksa harus mengalah," jelasnya di Teleconference Kementerian Kesehatan terkait peringatan hari TBC sedunia pada Selasa (24/3/2020).
"Dengan demikian ini yang harus kita atasi karena sebenarnya semua layanan ini harus mendapat prioritas," lanjutnya.
Menurutnya, rumah sakit untuk penanganan corona lebih baik terpisah dengan kasus penyakit lain termasuk TB. Hal ini demi memastikan layanan pengobatan pengidap TB tak terbengkalai.
"Sebisa mungkin layanan dibedakan, mana corona dengan yang tidak. RS yang menangani corona dipisahkan dengan RS lain. Karena pasien TB juga butuh perhatian dan pengobatan. Diatur strateginya supaya layanan TB jangan terbengkalai," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar