Tuberkulosis (TBC atau TB) di Indonesia berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 1 Mei 2019 ditemukan sebanyak 845 ribu kasus dan perkiraan 32 persen yang belum ditemukan. Belum selesai TBC, Indonesia pun harus berhadapan dengan pandemi corona.
Komite Ahli TB Indonesia, dr Pandu Riono, MPH, PhD, pun mengatakan pengobatan TBC jadi terganggu. Ia mengimbau jangan sampai layanan hanya fokus pada penanganan corona saja, semua layanan harus menjadi prioritas.
"Untuk pengobatan TB itu terganggu, fokus perhatiannya terpecah jadi bisa saja layanan TB yang sedang kita lakukan ini terhambat. Banyak juga teman-teman yang dokter paru di rumah sakit seharusnya bisa menangani TB terpaksa harus mengalah," jelasnya di Teleconference Kementerian Kesehatan terkait peringatan hari TBC sedunia pada Selasa (24/3/2020).
"Dengan demikian ini yang harus kita atasi karena sebenarnya semua layanan ini harus mendapat prioritas," lanjutnya.
Menurutnya, rumah sakit untuk penanganan corona lebih baik terpisah dengan kasus penyakit lain termasuk TB. Hal ini demi memastikan layanan pengobatan pengidap TB tak terbengkalai.
"Sebisa mungkin layanan dibedakan, mana corona dengan yang tidak. RS yang menangani corona dipisahkan dengan RS lain. Karena pasien TB juga butuh perhatian dan pengobatan. Diatur strateginya supaya layanan TB jangan terbengkalai," tutupnya.
Viral Larangan Minum Propolis, Ini Kata Peneliti 'Obat Corona'
Beredar sebuah potongan slide presentasi bertuliskan kontraindikasi COVID-19. Di dalamnya, disebutkan sejumlah catatan tentang propolis. Banyak yang menyimpulkan bahwa propolis tidak dianjurkan.
Slide tersebut memicu kebingungan, karena sebelumnya propolis dikatakan bisa menjadi salah satu obat alternatif virus corona. Bahkan sudah diteliti oleh seorang ilmuwan bernama Muhamad Sahlan dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI).
Menanggapi hal ini, Muhamad Sahlan mengatakan sampai sekarang ia belum menemukan sumber asli dari penelitian yang telah viral tersebut terkait kontraindikasi propolis.
"Saya sudah mengatakan bahwa penelitian saya hanya untuk propolis yang dari Sulawesi. Jadi saya tidak tahu propolis yang dilakukan percobaan pada penelitian tersebut yang mana?" kata Sahlan kepada detikcom, Selasa (24/3/2020).
Menurutnya beberapa efek yang ditimbulkan dari propolis pada penelitian tersebut berbeda dengan yang ia teliti. Misalnya pada penelitian itu mengatakan propolis dapat menyebabkan badai sitokin atau perubahan secara acak pada sel, sehingga menyebabkan paru-paru pada pasien berubah menjadi padat dan kaku, serta merasa sesak.
"Sedangkan penelitian yang punya kami itu berbeda dari yang lain. Kalau yang lain menginduksi sitokin, kalau yang kita malah mengurangi sitokin sampai 80 persen," jelas Sahlan.
Tak hanya itu, Sahlan juga menjelaskan bahwa propolis yang ia teliti tidak menimbulkan proinflamasi atau peradangan seperti yang dikatakan pada penelitian viral tersebut.
"Memang ada beberapa propolis yang sifatnya proinflamasi. Namun kami punya dua publikasi di tahun 2019, yang pertama pada percobaan tikus justru menunjukkan yang punya kita itu antiinflamasi," ucap Sahlan.
Sahlan pun mengimbau agar masyarakat jangan salah pilih propolis untuk dikonsumsi. Sebab setiap propolis memiliki kandungan dan efek yang berbeda-beda.
"Jadi artinya tidak semua bisa digeneralisir bahwa semua propolis sama. Jadi jangan sembarangan pakai propolis," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar