Di Perkampungan Adat Nagari Sijunjung, adat dan kebudayaan Minang masih tinggi dipegang. Traveler bisa berkunjung ke sini untuk belajar soal kebudayaan Minang.
Tikar pandan mengambang di atas tetupumpukan padi. Saya merebahkan badan di atasnya. Dalam rumah gadang ini, padi bisa menggantikan kasur dan bahkan lebih menghangatkan.
Ketika itu malam sunyi. Kawanan tenggoret di pepohonan membentuk orkestra nyanyian pengantar tidur. Menjelang terlelap, mata saya menerawang memandangi ukiran-ukiran di sekeliling dinding ruang rumah gadang. Banyaknya corak yang melekat, sekaligus menggambarkan kekayaan seni orang yang tinggal di dalamnya.
Tadi siang saya memasuki kawasan Perkampungan Adat Padang Ranah, di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Lokasi dapat dicapai dengan menempuh empat jam perjalanan dari Kota Padangatau tiga jam perjalanan dari Kota Bukittinggi. Akses ke sini cukup baik. Sijunjung terletak di pusat pemerintahan Kabupaten.
November bulan penghujan, namun siang itu matahari tegak di atas kepala saat saya tiba. Di sebuah tempat seukuran lapangan bola, berkumpul orang-orang. Marawai sejenis umbul-umbul berkain hitam, merah, dan kuning telah berkibar. Tidak salah lagi, ini tandanya ada acara besar.
Di bawah tenda biru ada bangku-bangku yang telah disiapkan, di situ duduk bupati, kepala dinas pendidikan dan kebudayaan, staf menko bidang pembangunan manusia, beserta pengikut-pengikutnya. Mereka akan memberikan sambutan untuk pembukaan alek nagari.
Alek nagari di ranah minang dikenal semacam pesta atau festival yang diadakan oleh sebuah nagari untuk memperingati momen-momen penting. Dulu kala, sebelum Islam masuk, alek nagari di Minangkabau mewujud dalam suatu kompetisi kesenian kebatinan yang dapat berujung pada korban jiwa.
Situasi berubah ketika ulama besar Syekh Burhanuddin membawa ajaran Islam ke wilayah Sumatera Barat sekitar abad ke-17. Sejak itu nilai-nilai alek nagari bersentuhan dengan ajaran Islam, dan bertransformasi menjadi sarana membangun silaturahim dan persaudaraan antar nagari.
Untuk kali ini, alek nagari diselenggarakan demi menyemarakkan Perkampungan Adat Padang Ranah Kabupaten Sijunjung sebagai Cagar Budaya Nasional. Diharapkan dengan itu banyak wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Sijunjung dan menggenjot perekenomian setempat, begitu kata Bupati Sijunjung dalam kata sambutan.
Terdapat tujuh puluh enam rumah gadang di kawasan ini. Rumah-rumah adat itu dipugar atas bantuan pemerintah. Arsitektur dan ornamen-ornamennya masih sebagaimana yang diwariskan. Tiangnya dibuat menggunakan kayu tua, dan lantai dari papan bersusun yang bila berjalan di atasnya akan berderak-derak.
Papan-papan juga menjadi dinding dengan dipasang secara vertikal. Hampir di sekelilingnya melekat ukiran seperti tumbuhan rambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Ada juga motif geometri bersegi tiga, segi empat, jajar genjang atau motif-motif lainnya yang diambil dari alam. Atapnya bergonjong, runcing, dan menjulang.
Sekitar tahun 2013 lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat mencari kawasan yang masih utuh kultur adatnya untuk diajukan sebagai cagar budaya nasional. Meskipun Sumatera Barat dikenal sebagai ranah minang, namun hampir tidak ada lokus yang produk dan kultur adat minangkabaunya masih utuh. Tinggal dua lokasi yang amat dipertimbangkan, Kasawasan Seribu Rumah Gadang di Kabupaten Solok Selatan dan tempat yang saya kunjungi ini.
Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato Nagari Sijunjung dinilai memiliki keunggulan karena tidak sekedar peninggalan rumah adat, namun juga tradisi adat yang masih hidup. Sehingga kemudian pada tahun 2017 ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai kawasan cagar budaya nasional dengan nomor register RNCB.20171103.05.001482. Kabarnya tengah diproses juga untuk didaftarkan ke UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar