Sabtu, 25 Januari 2020

62 Penduduk di Pulau Ini Berasal dari 1 Pria

Samudera Pasifik menyimpan banyak cerita yang jarang kita dengar. Di sebuah pulaunya ada kisah 62 penduduk yang berasal dari satu pria.

Mungkin traveler kurang akrab dengan nama Palmerston Island. Pulau ini adalah atoll atau populasi karang yang membentuk pulau cincin sehingga ada laguna di tengahnya.

Palmerston Island sendiri menjadi bagian dari Cook Island di Samudera Pasifik. Pemerintahan Cook Island masih terhubung dengan Selandia Baru.

Seperti halnya sebuah pulau di samudera luas, Palmerston cukup sulit dijangkau. Butuh waktu 9 hari untuk bisa sampai di pulau ini dengan menggunakan kapal.

Kalau sudah terbayang betapa jauhnya Palmerston Island, mari kita mulai kisah seorang pria yang tinggal di pulau ini. Pria tersebut bernama William Marsters, seperti yang dikumpulkan detikcom dari berbagai sumber, Jumat (24/5/2019).

William Marsters adalah seorang berkebangsaan Inggris yang hidup di abad-19. Marsters bertemu dengan seorang pedagang Inggris yang bernama John Brander di Tahiti, French Polynesia.

Brander kemudian menunjuk Marsters sebagai penjaga Palmerston karena jatuh cinta dengan pulau kosong itu. Marsters diperbolehkan untuk memanen pohon kelapa yang tumbuh di sana.

Pada tahun 1863, Marsters pindah ke Palmerston Island bersama istri dan dua sepupu perempuannya. Dalam dua kali setahun akan ada kapal yang datang ke Palmerston untuk memberikan persediaan makanan dan ditukarkan dengan minyak kelapa yang ia panen.

Namun setelah 6 tahun berlalu, kapal tersebut mulai jarang datang. Awalnya dua tahun sekali sampai akhirnya pada tahun 1878 kapal tersebut berhenti datang untuk memberikan pasokan makanan. Karena keuletannya, Marsters menemukan cara untuk bertahan hidup di Palmerston.

Ketika Brander meninggal, Marsters mendapat kepemilikan pulau dari Ratu Victoria. Dua sepupu yang dibawa Marsters akhirnya dinikahi dan mendapat hak waris pulau dengan istrinya.

Sebagai satu-satunya laki-laki di pulau tersebut, Marsters dan 3 istrinya mulai bertumbuh semakin banyak. Sampai akhirnya Marsters pun meninggal karena kekurangan gizi.

Saat ini, ada sekitar 62 penduduk yang masih bertahan di Palmerston Island. Mereka cenderung terkena inses karena berada dari satu keturunan Marsters. Perlahan, para pemuda mulai pindah dari pulau ini untuk menghindari inses.

Kehidupan di pulau ini terbilang lambat. Tak ada perdagangan di pulau ini, penduduknya mencari nafkah dengan memancing dan memanen kelapa.

Bisa dibilang, pulau ini sangat cocok untuk liburan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Sambungan telepon dan internet pun hanya dapat diakses beberapa jam sekali. Kebutuhan air dipenuhi dengan tampungan air hujan.

Wisatawan yang ingin berlibur ke pulau ini harus naik kapal selama 9 hari. Berada di atas atoll, pulau ini tak memiliki tanah yang bagus untuk dibuat sebagai landasan udara.

Tapi jangan tanya soal keindahan bawah lautnya. Karang atoll ini bakal membuat penyelam mana pun jatuh hati dengan Palmerston Island. Tentui saja, wisatawan harus membawa perlengkapan sendiri karena tak ada dive center di Palmerston Island.

Menpar Ajak Milenial Promosi Wisata Kuliner di Daerah Masing-masing

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengajak anak-anak muda untuk mempromosikan berbagai destinasi wisata kuliner yang ada di daerahnya masing-masing melalui program Millenial Tourism Corner.

Arief menjelaskan, Kemenpar memiliki berbagai strategi untuk memajukan wisata kuliner Indonesia di antaranya dengan menetapkan destinasi wisata kuliner unggulan di Indonesia antara lain Bali dan Bandung.

"Portofolio bisnis pariwisata kita, 60 persen orang datang karena faktor budaya. Dari 60 persen itu, 45 persen uangnya digunakan untuk kuliner dan belanja. Karena itu, mencicipi masakan Indonesia itu bisa menjadi teaser atau promosi pembuka sebelum mereka terbang ke Indonesia. Dan para milenial harus mempromosikannnya," Kata Arief, dalam keterangannya, Jumat (24/5/2019).

Hal itu disampaikannya dalam acara Millennial Tourism Corner di Upnormal Coffee Roster Cihampelas 96, Bandung. Menurut Arief, rata-rata pengeluaran wisman untuk keperluan makan dan minum sebesar USD 400 atau mencapai 30 persen dari total pengeluarannya sebesar 1.200 dolar AS per wisman dalam satu kali kunjungan. Terlebih dampak wisata kuliner terhadap perekonomian (PDB) nasional, pada 2016 sudah mencapai Rp 150 triliun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar