Spanyol menjadi salah satu negara di Eropa yang terinfeksi virus corona. Madrid, menjadi kota terparah di Spanyol yang terkena dampak COVID-19. Tercatat terdapat 33.089 kasus, dan 2.206 orang meninggal dunia. Dengan angka kasus yang tinggi, pasien virus corona di Spanyol membludak.
Akibatnya, rumah sakit tak bisa lagi menampung pasien virus corona. Bahkan, banyak pasien yang terpaksa dirawat di lantai karena kehabisan tempat tidur. Belum lama ini viral sebuah tayangan video yang memperlihatkan pasien di rumah sakit yang berbaring di sepanjang lorong karena penuhnya ruang untuk perawatan.
Video yang diunggah tersebut berasal dari rumah sakit Infanta Leonor kota Madrid, Spanyol. Menunjukkan banyak peningkatan jumlah kematian di negara matador tersebut.
Dilansir dari Independent, terdengar banyak pasien yang batuk, dan beberapa dari mereka terlihat duduk di deretan kursi, sementara yang lain berbaring di dekat tangki oksigen.
Lebih rinci lagi, video itu dipublikasikan juga sebagai pengantar berita bahwa korban tewas di Spanyol. Terlebih lagi, hampir 4.000 orang petugas kesehatan yang ikut dalam menangani masalah tersebut juga ikut terinfeksi COVID-19 atau lebih dari satu dari 10 total kasus yang dikonfirmasi.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Kepala Darurat Kesehatan Spanyol, Fernando Simon. "Kami memiliki beberapa data yang tidak kami sukai, karena kami mencoba mengendalikannya seperti memiliki 3.910 pekerja kesehatan yang terkena dampak," jelas Simon.
Simon juga selalu mengimbau warga Spanyol yang saat ini masih dalam masa lockdown yang diperpanjang sampai 11 April untuk terus menghormati peraturan ini dan melarang siapa pun untuk berkeliaran.
"Dalam beberapa kesempatan dikatakan bahwa puncak (epidemi) dapat dicapai minggu ini. Mencapai puncak tidak melibatkan mengendalikan masalah, itu berarti kalian harus melipatgandakan upaya untuk tidak mengambil langkah mundur," tutur dia.
WHO Percepat Penelitian 4 Obat Virus Corona, Ini Daftarnya
Tiga bulan setelah pandemi virus corona baru atau COVID-19, masih belum jelas mana obat yang dapat memerangi penyakit dan mana yang tidak. Melihat hal ini, para peneliti di seluruh dunia tengah berlomba untuk menemukan obat paling cocok dalam mengatasi virus corona.
Saat virus corona merebak di China pada bulan Januari dan Februari, peneliti terus melakukan uji klinis obat dari penyakit tersebut. Namun sejauh ini, penelitian di Tiongkok belum menghasilkan cukup data dan jawaban yang konklusif.
"Banyak uji coba kecil dengan metodologi berbeda mungkin tidak memberi kita bukti yang jelas dan kuat yang kita butuhkan tentang perawatan yang membantu menyelamatkan hidup," kata Tedros Adhanom, direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam jumpa pers dikutip dari The Verge.
Dalam perjuangan untuk mencari 'bukti yang jelas dan kuat', WHO meluncurkan uji klinis multinegara yang diberi nama SOLIDARITY untuk menguji empat rejimen obat sebagai terapi COVID-19. Disamping itu, ratusan uji klinis lain sedang berlangsung dan kelompok lain pun terus menguji beberapa obat yang dipilih WHO.
Berikut rincian obat yang menjadi perhatian WHO dan peneliti.
1. Klorokuin dan Hydroxychloroquine
Kedua jenis obat ini sebelumnya dikenal sebagai obat malaria. Panel ilmiah WHO yang merancang proyek SOLIDARITY awalnya memutuskan tidak melanjutkan penelitian pada klorokuin dan hidroksi klorokuin tetapi berubah pikiran pada 13 Maret karena menunjukkan hasil cukup signifikan di beberapa negara.
Peneliti di Perancis juga telah menerbitkan studi di mana mereka merawat 20 pasien COVID-19 dengan hydroxychloroquine. Mereka menyimpulkan obat ini secara signifikan mengurangi viral load pada uji swab. Namun Society of Critical Care Medicine Amerika Serikat menyebut tidak ada cukup bukti untuk mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan klorokuin atau hidroksi klorokuin pada pasien COVID-19 dewasa yang sakit kritis.
Hydroxychloroquine, khususnya, mungkin lebih berbahaya. Obat ini memiliki berbagai efek samping dan dapat membahayakan jantung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar