Sebuah studi terbaru mengungkap seberapa besar kemungkinan pasien COVID-19 tanpa gejala menularkan virus Corona. Studi ini telah diterbitkan dalam jurnal JAMA Open Network.
Dikutip dari Huffpost, studi ini dilakukan oleh para peneliti dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS).
Para peneliti menemukan bahwa lebih dari setengah total penularan virus Corona berasal dari pasien COVID-19 tanpa gejala atau asimptomatik. Dengan kata lain, mayoritas penularan virus berasal dari 'silent carrier'.
Pasien COVID-19 tanpa gejala dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok pra-gejala atau orang yang menyebarkan virus sebelum menunjukkan gejala. Kedua, kelompok orang yang mungkin tidak pernah mengembangkan gejala apa pun, tetapi tetap menularkan virus.
Studi ini pun menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut tampaknya memainkan peran penting dalam penyebaran virus Corona. Sekitar 35 persen penularan virus berasal dari kelompok pasien pra-gejala. Sementara 24 persen berasal dari mereka yang tidak pernah mengalami gejala.
Oleh karena itu, para peneliti pun mencatat sebaiknya tes COVID-19 dilakukan secara lebih luas, terutama kepada orang-orang yang berisiko lebih tinggi menularkan virus Corona pada orang lain.
Studi ini juga mempertegas betapa pentingnya mematuhi protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan untuk meminimalisir penularan virus Corona.
https://maymovie98.com/movies/resident-evil-the-final-chapter/
Posko Antemortem Sriwijaya Air Disiapkan di RS Polri, Begini Cara Kerjanya
Pesawat Sriwijaya Air jatuh. Kementerian Perhubungan menyatakan pesawat Sriwijaya Air SJ182 jatuh di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara setelah dikabarkan hilang kontak.
Pihak kepolisian malam ini membuat posko Antemortem-DVI di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
"Kami sudah siapkan Posko Antemortem-DVI di RS Kramat Jati. Nanti kami akan bantu keluarga korban di bandara untuk kita layani terkait pengumpulan informasi terkait Sriwijaya Air SJ182," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat dihubungi detikcom, Sabtu (9/1/2021).
Jenazah korban yang sudah dievakuasi dari lokasi jatuhnya pesawat harus segera diidentifikasi. Dalam proses identifikasi, ada istilah yang disebut proses antemortem dan post-mortem.
Dikutip dari lama idionline.org, antemortem adalah data-data korban sebelum meninggal. Data ini bisa didapatkan dari keluarga terdekatnya.
Ada dua metode yang biasa dilakukan untuk pengumpulan data antemortem. Metode sederhana menyangkut visual, perhiasan, pakaian dan dokumentasi dan metode ilmiah meliputi pemerikasaan sidik jari, rekam medis, serologi (pemeriksaan cairan tubuh seperti darah, air mani, air liur, keringat, dan kotoran di tempat kejadian perkara), odontologi (gigi), antropologi, biologi (termasuk tanda lahir atau cacat).
Untuk mendapatkan sidik jari antemortem, tim forensik bisa mencari dari surat pribadi semacam SIM, Ijasah, atau KTP. Sementara untuk DNA bisa dicocokkan dari keluarga sekandung korban semisal orang tua dan anak-anak dan tanda-tanda lainnya, seperti tanda lahir, biasanya dikenali secara detail oleh keluarga terdekat.
Apabila data itu tidak bisa didapatkan maka bisa di lakukan pemeriksaan sekunder yaitu visual, dokumen (SIM, KTP, Paspor), atau pakaian penumpang sebelum terbang.
Setelah pengumpulan data antemortem lengkap, maka data ini kemudian akan dicocokkan dengan data tubuh asli korban yang ditemukan.
Proses ini dikenal dengan nama post-mortem atau data yang ditemukan setelah korban meninggal. Proses pencocokan data antemortem dan post mortem yang sudah cocok berguna untuk mengenali data diri korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar