- Posisi bercinta yang fokus pada stimulasi G-spot diketahui dapat membuat wanita lebih mudah mencapai orgasme. Disebut-sebut, G-spot merupakan zona erotis pada wanita yang terletak di bagian dalam vagina.
Saat G-spot terstimulasi dengan baik, maka wanita akan merasakan sensasi intens yang bisa membantunya mencapai klimaks. Meski masih menuai kontroversi dan menjadi perdebatan di kalangan para ahli, terkait apakah G-spot betul-betul ada, sebanyak 56 persen wanita dalam sebuah studi mengaku bahwa mereka memiliki area sensitif yang satu ini.
Namun, bagi kamu yang percaya bahwa di dalam vagina terdapat G-spot, maka kamu bisa mencoba beberapa posisi bercinta terbaik untuk mencapai orgasme G-spot. Dikutip dari Health, berikut 3 variasi bercinta terbaik untuk stimulasi G-spot.
1. Woman on top
Variasi klasik bercinta di mana pria berbaring terlentang, sedangkan wanita berada di atas untuk dipenetrasi ini bisa membantu wanita mencapai orgasme G-spot. Saat penetrasi, wanita bisa menyandarkan sedikit tubuhnya ke belakang agar penis pria bisa mencapai G-spot yang ada di dalam vagina. Dengan adanya kebebasan untuk mengontrol gerakan, wanita bisa merasakan kenikmatan orgasme G-spot.
2. Reverse cowgirl
Posisi modifikasi cowgirl ini sebetulnya mirip dengan woman on top. Akan tetapi, pada posisi reverse cowgirl, wanita membelakangi wajah pria dan menghadap ke kaki pria. Beberapa wanita mengaku menikmati posisi ini untuk mendapatkan orgasme G-spot. Sebab, posisi membelakangi pria ini akan membuat penis pria lebih mudah menstimulasi dinding bagian depan vagina yang disebut-sebut sebagai G-spot.
3. Modified missionary
Pada variasi ini, wanita akan berbaring terlentang di kasur dan meletakkan bantal pada bagian bokong. Bantal yang berada di bawah bokong akan membuat vagina berada di posisi lebih tinggi dari bagian tubuh lainnya, sehingga pada saat pria memulai penetrasi, kamu bisa menyuruh pasanganmu untuk menggesekkan tulang selangkangannya. Sementara itu, penis pria dapat menstimulasi dinding vagina untuk mencapai G-spot.
https://cinemamovie28.com/movies/sin-city/
Usia yang Diklaim Paling 'Kebal' COVID-19 Menurut Studi
Sebuah studi terbaru menunjukkan anak-anak berusia 10 tahun ke bawah memiliki respons antibodi lebih banyak saat terinfeksi virus Corona, dibandingkan remaja dan orang dewasa.
Dikutip dari AFP, studi ini dilakukan oleh para penliti dari Well Cornell Medicine, Amerika Sekat. Mereka mengatakan, temuannya ini dapat membantu menjelaskan mengapa umumnya anak-anak tidak serentan orang dewasa ketika terkena COVID-19.
"Temuan kami menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam manifestasi COVID-19 pada pasien anak-anak dan pasien dewasa, yang mungkin sebagian disebabkan oleh respons kekebalan terkait usia," ucap peneliti.
Dalam studi tersebut, para peneliti memeriksa hampir 32.000 tes antibodi dari New York City, antara April-Agustus 2020. Selain itu, mereka juga meneliti 85 anak dan 3.648 orang dewasa yang dinyatakan positif COVID-19, untuk diukur tingkat antibodinya.
Diketahui, sebanyak 32 anak (berusia 1-10 tahun) menunjukkan tingkat antibodi lima kali lebih besar dibandingkan 127 orang dewasa muda (berusia 19-24 tahun).
Kemudian, para peneliti memeriksa 126 pasien COVID-19 (berusia 1-24 tahun), yang tak pernah mengalami gejala parah akibat infeksi Corona, untuk lebih mengetahui respons antibodinya.
Dalam kelompok terakhir ini, anak-anak berusia (1-10 tahun) rata-rata memiliki antibodi dua kali lebih banyak dibanding remaja (berusia 11-18 tahun), yang juga memiliki lebih dari dua kali lipat tingkat antibodinya dari rata-rata orang dewasa muda (berusia 19-24 tahun).
Namun, terdapat teori lain yang mengatakan bahwa anak-anak memiliki lebih sedikit reseptor sel di saluran pernapasan mereka, yang disebut 'ACE2'. Ini yang digunakan virus Corona untuk masuk ke sel tubuh manusia.
Sementara itu, terdapat hasil yang bertentangan dari studi ini, yakni tingkat antibodi terendah terjadi pada orang dewasa muda. Kemudian antibodi itu meningkat lagi seiring bertambahnya usia, terlepas dari kenyataan bahwa kita tahu orang tua lebih rentan.
Para penulis pun mengaku bahwa mereka tak dapat sepenuhnya menjelaskan temuan ini. Namun, penyakit penyerta bisa menjadi alasan mengapa kematian dan rawat inap akibat COVID-19 sangat tinggi di kelompok usia tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar