Senin, 24 Februari 2020

Masjid Raya Sultan Riau, Peninggalan Leluhur Melayu (2)

Setelah perahu ditambatkan di Dermaga Pulau Penyengat, penumpang bergegas meninggalkan pompong. Selepas melintasi dermaga, kami disambut dengan sebuah gapura besar berwarna kuning dengan kalimat tertulis di atas Selamat Datang di Pulau Penyengat.

Tak jauh dari gapura itulah berdiri bangunan yang bercat kuning dan hijau itu. Bangunan inilah yang menjadi salah satu simbol kiblat bangsa Melayu. Di depan bangunan itu terpampang papan nama Mesjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.

Masjid peninggalan Kesultanan Lingga-Riau itu untuk menjadi masjid seperti yang kami lihat saat ini, pembangunannya dilakukan memerlukan proses dari sultan ke sultan.

Disebutkan ground breaking pembangunan itu dimulai pada tahun 1761. Awal berdiri, masjid itu hanya beralas batu bata dan berdinding kayu serta satu menara setinggi 6 meter.

Ketika pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Lingga-Riau tahun 1831-1844, masjid yang berada di tepi laut itu diperbaiki dan diperluas.

Sebab dirasa keuangan kesultanan terbatas maka Sultan Abdurrahman berkata kepada rakyat Riau agar beramal untuk memperluas masjid. Membangun masjid adalah amal jariyah maka mayoritas rakyat Riau yang beragama Islam melakukan sedekah dengan apa yang dimiliki.

Bertepatan dengan Lebaran, 1 Syawal 1248 Hijriah atau tahun 1832 Masehi, seluruh rakyat dari berbagai penjuru Lingga-Riau tak hanya membantu menjadi pekerja namun juga mengantarkan makanan buat pekerja. Makanan yang dikirim melimpah terutama telur.

Saking banyaknya telur sampai para pekerja bosan sehingga hanya kuning telurnya yang disantap. Sementara putih telur, dibuang sayang, maka digunakan sebagai bahan campuran untuk merekatkan pasir dan kapur. Dari sinilah yang membuat masjid itu dikenal pembangunannya dari putih telur.

Menurut Hambali, marbot Masjid Sultan Riau, masjid yang mempunyai ukuran 18 meter kali 20 meter itu mampu menampung 400 jamaah.

"Kalau Lebaran sampai 1000 jamaah. Sampai kanan-kiri masjid dipakai. Di saat puasa, masjid ramai dengan berbagai kegiatan," ujarnya.

Sebagai tempat wisata, Hambali mengungkapkan selain wisatawan dari dalam negeri banyak juga wisatawan dari Malaysia dan Singapura. Saat ditanya mengapa masjid itu dicat warna kuning dan ada warna hijau.

"Warna kuning sebagai simbol kejayaan Melayu, warna hijau sebagai simbol kejayaan Islam," jawab Hambali.

Masjid ini berada di pintu masuk Pulau Penyengat sehingga orang yang menuju ke pulau itu pasti akan melintasi. Di sekitarnya selain ada pedagang kaki lima dan warung juga ada penginapan.

Penginapan tak jauh dari masjid itu memasang tarif kisaran Rp150.000 hingga Rp 300.000. Salah seorang pedagang kaki lima yang berada di depan masjid, Yuniati, mengatakan Pulau Penyengat ramai pada musim libur.

"Desember saat musim libur sekolah di Singapura," ujarnya.

Sebagai pedagang gorengan, Yuniati mengaku usaha yang dijalankan itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

"Kalau mau lebih ya ke Singapura," ujarnya.

Selepas dari Mesjid Raya Sultan Riau, perjalanan dilanjutkan ke Komplek Makam Keluarga Kesultanan Lingga-Riau. Untuk menuju ke sana, transportasi umum yang ada hanya bentor (becak motor).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar