Para traveler ramai dengan beredarnya foto surat edaran atas nama maskapai AirAsia yang melarang penumpang membawa daging babi ke Malaysia. Larangan ini benar adanya.
detikTravel pun menanyakan langsung perihal broadcast yang beredar luas di media sosial kepada AirAsia. Broadcast yang beredar itu sepertinya ditujukan kepada travel agent, seperti tampak pada awal kalimatnya.
Bagaimana tanggapan AirAsia? Larangan penumpang membawa daging babi itu ternyata benar adanya. Larangan ini terkait dengan wabah Flu Babi Afrika.
"Kami ingin menginformasikan bahwa pemerintah Malaysia telah menetapkan larangan sementara membawa masuk daging babi dan produk yang mengandung daging babi ke Malaysia menyusul adanya wabah virus Flu Babi Afrika," ujar Juru Bicara AirAsia kepada detikTravel, Rabu (13/2/2019).
Menurut dia AirAsia sudah memasang pengumuman resmi di website mereka mulai tanggal 8 Februari 2019 perihal Larangan Membawa Produk Babi dan Berbahan Babi ke Malaysia.
Dalam pengumuman itu disebutkan, traveler yang membawa daging babi atau produk babi ke Malaysia diminta membuangnya di tempat pembuangan yang ditentukan (tempat karantina) setelah turun dari pesawat.
Mereka yang tidak melakukannya, barangnya akan disita dan dikenakan denda RM 100.000 atau penjara 6 tahun atau keduanya.
Wah, patut jadi perhatian traveler nih!
Menyelidiki Jejak Freemason di Kota Malang
Organisasi Freemason di Kota Malang dulunya pernah ada. Jejak keberadaannya bisa dilihat di sebuah hotel bergaya Belanda di Jalan Cerme, Kota Malang.
Bangunan bergaya arsitektur Niuwe Bowen itu dirancang oleh seorang arsitek Belanda di tahun 1933. Bangunan sempat berubah-ubah fungsinya sebelum akhirnya menjadi The Shalimar Boutique Hotel.
Dahulu bangunan tersebut pernah digunakan sebagai Stasiun RRI Malang sejak tahun 1964. Lalu pada tahun 1993, PT Cakra Nur Lestari melakukan tukar guling dengan status hak guna usaha seluas 3.800 meter persegi.
Tahun 1994, bangunan itu difungsikan sebagai Hotel Malang Inn. Kemudian setahun berikutnya, 1995, menjadi Graha Cakra. Lalu pada 2011 sukses menjadi hotel bintang lima dan pada 2015 di-rebranding menjadi The Shalimar Boutique Hotel.
Total kamar di hotel ini ada 44. Satu kamar tipe presiden suites bertarif Rp 10 juta per malam, sedangkan dua kamar tipe royal suites bertarif Rp 5,5 juta per malam.
Nah, untuk jejak Freemason dikenali dari foto lawas yang menempel pada dinding lobi hotel dan beberapa ruangan lain. Pada dinding depan bagian utama bangunan, di tengahnya terpasang logo atau simbol Freemason atau Mason Bebas. Dengan huruf G diapit jangkar dan mistar siku, yang menjadi lambang dari tarekat itu.
"Itu memang foto asli bangunan ini. Kita mendapatkannya dari kolektor. Sampai kini, bangunan utamanya tak berubah," ungkap Manager Affair The Shalimar Hotel Boutique Agoes Basoeki pada detikTravel, Kamis (7/2/2019).
Foto repro memang sengaja dipajang, untuk memperlihatkan penampakan bangunan sejak masa lalu. Bersama ahli sejarah, Agoes pun tengah serius menelusuri sejarah dari bangunan ini.
"Dulunya menjadi gedung societeit, tempat berkumpul pejabat-pejabat Belanda kala itu, mengisi waktu dengan berpesta, berdansa, menari dan menyanyi," beber Agoes.
Terlepas dari keberadaan komunitas Freemason kala itu, kata Agoes, bangunan memang dirancang khusus untuk iklim Indonesia dengan gaya arsitektur Niuwe Bowen.
"Bangunannya kokoh dan tak berubah dari aslinya, sirkulasi udaranya bagus hingga terasa adem dan membuat betah siapa saja yang singgah," ujar Agoes.
Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang pun mengiyakan soal bangunan hotel yang dulunya digunakan sebagai tempat perkumpulan Freemason.
"Jika melihat dari beberapa bukti, memang iya. Bangunan atau gedung ini dulunya menjadi tempat perkumpulan itu (Freemason). Bahkan, jika sampai mendirikan bangunan sendiri, artinya cukup kuat di masa itu," ungkap Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang Dwi Cahyono dalam perbincangan terpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar