Masyarakat tidak bisa menuntut produsen vaksin COVID-19, dalam hal ini Pfizer dan Moderna jika vaksinnya memiliki efek samping yang parah setelah disuntikkan. Bahkan pemerintah kemungkinan besar tidak memberikan kompensasi kepada masyarakat.
Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pengacara kepada CNBC. Pemerintah telah memberikan perusahaan seperti Pfizer dan Moderna kekebalan dari tanggung jawab jika terjadi kesalahan dengan produksi vaksin secara tidak sengaja.
"Sangat jarang kekebalan hukum disahkan menyeluruh. Biasanya perusahaan farmasi tidak banyak ditawari perlindungan kewajiban di bawah hukum," kata Rogge Dunn seorang pengacara ketenagakerjaan yang dilansir dari CNBC, Sabtu (19/12/2020).
Selain Pfizer dan Moderna, menurut Rogge, masyarakat juga tidak bisa menuntut Food and Administration karena sudah mengesahkan vaksin COVID-19 dengan cepat dan dalam situasi yang darurat. Bahkan, masyarakat tidak bisa meminta pertanggungjawaban kepada atasan kalian jika mereka mewajibkan vaksinasi sebagai syarat kerja.
Pada Februari, Sekretaris Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Alex Azar menerapkan UU kesiapan publik dan kesiapsiagaan darurat. Dalam beleid itu, pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada perusahaan yang membuat atau mendistribusikan pasokan medis penting, seperti vaksin. Perlindungan ini berlangsung hingga 2024.
"Itu berarti selama empat tahun ke depan, perusahaan-perusahaan ini tidak dapat dituntut untuk ganti rugi uang di pengadilan atau cedera yang terkait dengan administrasi atau penggunaan produk untuk mengobati atau melindungi dari COVID-19," kata Alex.
Rogge menilai perlindungan hukum diberikan karena para perusahaan produsen vaksin seperti Pfizer diminta percepat pengembangan vaksin.
"Ketika pemerintah berkata, kami ingin anda mengembangkan ini empat atau lima kali lebih cepat dari biasanya, kemungkinan besar pabrikan berkata kepada pemerintah kami yakin anda pemerintah melindungi kami dari tuntutan hukum," kata Rogge.
https://cinemamovie28.com/movies/the-return-3/
UMKM di Indonesia Baru 13% Go Digital, Padahal Potensinya Besar
Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Koperasi dan UKM Luhur Pradjarto mengungkap bahwa UMKM di Indonesia memiliki potensi berkembang yang besar.
Hal ini diungkapkan di sela acara 'Obsesi Ninja Xpress: Dengar Suara UKM Negeri', Jumat (18/12/2020). Menurut data yang ada dari pemerintah, ada sebanyak 62% dari total UMKM yang berhenti sementara karena COVID-19.
"Sebagian terhambat, karena apa? Transportasi yang terimbas. Makanya kami mengupayakan agar UMKM survive karena UMKM kita sangat besar kontribusinya dalam perekonomian di Indonesia," ujarnya.
Dalam ekspor, UMKM di Indonesia memiliki nilai sharing sebesar 14% dan diharapkan akan naik pada tahun depan bisa naik. Padahal baru sebanyak 13% UMKM yang masuk ke ranah digital.
Menurut Luhur, UMKM harus bertransformasi ke era digital, dari informal menjadi formal. Para pegiat UMKM juga harus bergabung supaya mencapai skala ekonomi yang bagus dengan kekuatan ekonomi yang baik untuk bersaing.
"Mereka harus belajar memasarkan secara online dan berbasis teknologi. Tanpa teknologi akan sulit menunjang produktivitas. Lalu jangan sampai UMKM terbilas terus, jadi bagaimana caranya membangun kemitraan antara besar, kecil dan menengah," tegasnya.
Diketahui lebih dari 20 juta UMKM dominan di mikro. Usaha mikro juga memiliki keunggulan sangat lincah dan mempelajari pasar dengan cepat.
"Ini saatnya mengupayakan UMKM naik kelas," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar