Hari raya Waisak menjadi momen yang ditunggu umat buddha dunia. Melihat acara buddha terbesar dunia ini, masyarakat dunia kagum dengan toleransi Indonesia.
Kalau denger Waisak, banyak dari kita cuma tau kalo itu tanggal merah, hari raya buddha atau borobudur. Mungkin kebanyakan hanya menyadari kalau Waisak adalah hari libur nasional untuk memperingati hari raya saudara kita yang beragama budha, udah gitu aja. Padahal banyak banget hal didalam perayaan Waisak yang diselenggarakan hingga menuju detik-detik Waisak.
Saya memutuskan untuk berangkat ke Borobudur untuk melihat secara langsung prosesi Waisak yang sebenarnya dari pagi hingga detik-detik Waisak. Saat itu, saya dan teman saya, Barly betekad untuk berangkat. Walaupun itu sudah masuk minggu UAS.
Dari sekian banyak teman, akhirnya yang berangkat cuma saya dan Barly. Untungnya, di Solo ada sahabat saya, Razan yang mau ikut juga. Saya berangkat dengan kereta malem ke Jogja.
Sampai Jogja itu sekitar pukul 03.20 WIB. Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, jadi kami harus segera cari makan buat sahur. Thank God! Ada kawan, Ghiva di Jogja yang berbaik hati mau nemenin untuk cari sahur.
Diajaklah kami buat makan Gudeg Bu Tekluk (Gudeg Bromo). Itu sahur terenak saat ramadhan tahun itu menurut saya. Buat yang belum familiar dengan gudeg ini, saya mau share sedikit nih. Jadi Gudeg ini tergolong gudeg basah, dan untuk citarasanya cenderung pedas gurih, cocoklah ya buat traveler semua yang kurang suka makanan manis khas jawa.
Pagi harinya, saya dan teman-teman langsung berangkat ke Magelang dengan sewa motor dari jogja, kisaran harganya Rp 100-150 rb per hari. Satu hal yang saya ingat sepanjang perjalanan dari Jogja ke Magelang, masyarakat Jogja itu taat berkendara. Jadi selama di perjalanan itu saya benar-benar menikmati dan tidak pegal ngerem karena takut ada yang melanggar lalin.
Sampai di Magelang, banyak jalan yang udah di blokade sama kepolisian karena bakal ada upacara keagamaan Waisak ini. Jadi kami harus cari jalan alter buat sampe ke Candi Mendut, tempat pendaftaran prosesi lampion.
Google maps sangat membantu dikala seperti ini. Kita dibawa ke jalan desa yang cukup kecil, terus dipenuhi sama pemandangan gunung dan sawah yang super keren khas pedesaan.
Meskipun kami sempat saling tanya, "Ini bener enggak sih?"
Saat di kondisi bingung gitu, tiba-tiba berkata kalau dia sakit perut alias mules. Untungnya, ada warung kecil di pinggir sawah dan saya berenhentikan motor sembari bertanya kepada bapak pemiliki warung.
"Pak, permisi temen saya ingin buang air, kira kira jalan raya atau pom bensin masih jauh nggak ya dari sini?".
Tipikal orang jawa yang super baik kelihatan nih, bapaknya langsung berkata, "Oh, di sini saja dek, jalan raya masih jauh, kebetulan ada kamar kecil di belakang."
Sambil menunggu Barly buang air, saya sempatkan untuk ngobrol-ngobrol dengan bapak warung tersebut. Mulai dari kekaguman saya dengan pemandangan sekitar, sampai perjalanan gue dari Bandung-Jogja-Magelang.
Beliau cukup kaget juga ketika saya menceritakan maksud kedatangan kami.
"Wahh, biasanya kalo mau ke lampion pake jasa tour tour itu toh mas, ini sendiri ya," sambil tertawa ringan.
Kembali melempar pertanyaan, bapak tersebut menanyakan maksud kedatangan kami ke sana.
"Mas e, wartawan, atau memang merayakan sampai harus dateng dari pagi gini?"
"Mahasiswa pak, ingin melihat aja Indonesia itu toleransinya tinggi. Kan daerah sini di kelilingi oleh agama yang berbeda tetapi prosesi besar begini bisa dijaga dengan baik, keren pak!"
Bapak itu pun tersenyum dan berkata, "betul dek, memang itu yang harus dilihat dan diresapi yah, semoga perjalan adek selamat sampai kembali lagi ke Bandung" tutupnya. Kata-kata itu menutup pembicaraan kami seraya Barly selesai buang air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar