Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum mengubah kebijakannya tentang penularan aerosol dari virus Corona. Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO Mike Ryan menegaskan belum ada bukti baru mengenai risiko penularan COVID-19 lewat udara.
"Kami yakin belum melihat bukti baru (penularan COVID-19 lewat udara) dan posisi kami dalam hal ini tetap sama," kata Ryan dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari Reuters, Selasa (22/9/2020).
Ryan mengatakan WHO hingga kini masih meyakini COVID-19 menyebar melalui droplet, tetapi di ruang tertutup dan padat dengan ventilasi yang tidak memadai, penularan secara aerosol sangat mungkin terjadi.
"Kami masih, berdasarkan bukti, yakin bahwa ada berbagai metode transmisi," katanya.
Komentar WHO ini datang setelah CDC Amerika Serikat mengubah panduannya tentang penularan virus Corona. Sebelumnya, laman CDC pada Jumat (17/9) menuliskan 'ada bukti yang berkembang bahwa droplet dan partikel COVID-19 dapat tetap berada di udara dan terhirup oleh orang lain dalam jarak kurang dari 2 meter'.
Belakangan, panduan tersebut direvisi karena disebut salah posting.
"Versi draft dari usulan perubahan tentang rekomendasi tersebut terunggah secara tidak sengaja ke website resmi. CDC saat ini memperbaharui rekomendasinya terkait penularan SARS-CoV-2 (virus yang menyebabkan COVID-19) secara airborne," tulis CDC di situsnya.
https://cinemamovie28.com/jazzy-misfits/
Kondisi Ini Tingkatkan Risiko Kematian Akibat Corona, Apa Saja?
Studi baru yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan orang yang mempunyai penyakit tidak menular akan lebih rentan menjadi sakit parah dan meninggal akibat virus Corona COVID-19.
WHO mengungkapkan data bahwa lebih dari 40 juta orang meninggal akibat penyakit tidak menular dalam satu tahun. Sebanyak 7 dari 10 kematian global disebabkan oleh penyakit jantung, kanker, diabetes, pernapasan dan penyakit tidak menular lainnya.
Dari jumlah tersebut, data menunjukkan sekitar 17 juta orang meninggal pada usia dini, sebagian besar antara umur 30 dan 70 tahun. Sebagian besar kematian terjadi di negara berpendapatan rendah.
Kepala Satuan Tugas PBB bagian penyakit tidak menular, Nick Banatvala, mengatakan penyakit tidak menular dan faktor risikonya, telah meningkatkan kerentanan terhadap infeksi virus Corona COVID-19.
Kondisi ini dapat berakibat buruk, termasuk pada anak muda. Menurut Nick, penelitian akademik di beberapa negara menunjukkan besarnya masalah tersebut.
"Sebuah studi di Perancis menunjukkan, COVID-19 kemungkinan berkembang parah tujuh kali lebih tinggi pada pasien obesitas. Perokok, satu setengah kali lebih mungkin mengalami komplikasi parah akibat COVID-19 dan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi," papar Nick seperti dilansir dari laman VOA Amerika.
"Penderita diabetes memiliki kemungkinan dua hingga empat kali lebih besar, untuk mengalami gejala yang parah atau meninggal dunia akibat COVID-19," katanya.
Studi lain telah menunjukkan hasil yang serupa bagi penderita penyakit paru-paru, jantung, kanker dan sebagainya.
Nick mengatakan, pada sebuah studi yang dilakukan WHO pada tahun 2018 menunjukkan, investasi kesehatan untuk tindakan pencegahan dapat menyelamatkan keuangan dan nyawa manusia.
Dalam studi ini menemukan, untuk setiap 1 dolar AS (setara Rp14.700) yang dikeluarkan untuk tindakan pencegahan, manfaat yang diperoleh setara 7 dollar AS (setara Rp 103.000) hingga tahun 2030.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar