Jumat, 30 Oktober 2020

Mengenal Vaskulistis Sistemik yang Diidap Pangeran Brunei Abdul Azim Sebelum Wafat

 Suasana duka masih menyelimuti Brunei Darussalam. Baru-baru ini terungkap, Pangeran Haji Abdul Azim wafat karena kegagalan multiorgan terkait penyakit autoimun vaskulitis sistemik yang diidapnya.

"Awal tahun ini, kakak saya didiagnosis vaskulitis sistemik parah, yang merupakan sebuah penyakit autoimun," ungkap Abdul Mateen, adik kandung Abdul Azim, di akun Instagram @tmski.


Apa itu vaskulitis?

Dikutip dari Mayo Clinic, vaskulitis adalah suatu kondisi radang pembuluh darah yang menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh darah.


Perubahan ini bisa berupa penebalan, penyempitan, dan pelemahan pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat menghambat aliran darah dan mengakibatkan kerusakan pada organ dan jaringan tubuh.


Apa penyebab vaskulitis?

Hingga kini belum diketahui penyebab pasti seseorang mengalami vaskulitis. Meski begitu, beberapa kondisi vaskulitis bisa berhubungan dengan faktor genetik dan gangguan sistem kekebalan tubuh (autoimun).


Gangguan sistem kekebalan tubuh bisa dipicu oleh beberapa kondisi, seperti berikut.


Infeksi, seperti hepatitis B dan hepatitis C

Kanker darah

Reaksi tubuh terhadap obat-obatan

Penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis, skleroderma atau lupus.

Apa yang terjadi jika terkena vaskulitis?

Vaskulitis bisa berakibat serius. Ketika pembuluh darah melemah, mereka akan mudah berdarah atau meradang. Jika pembuluh darah meradang, dindingnya akan menebal dan membuat rongga pembuluh darah menyempit, sehingga aliran darah akan terganggu.


Kondisi tersebut jika dibiarkan bisa mengancam nyawa pengidapnya. Berikut beberapa komplikasi yang bisa dialami pengidap vaskulitis.


Kerusakan organ. Vaskulitis yang kian memburuk dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ penting di tubuh.

Gangguan penglihatan. Kondisi ini umumnya terjadi pada jenis vaskulitis giant cell arteritis yang tidak diobati.

Penggumpalan darah dan aneurisma. Meski jarang terjadi, tetapi vaskulitis dapat menyebabkan pembuluh darah membengkak, sehingga aliran darah terganggu dan menggumpal.

https://nonton08.com/guest-house-2020/


Aliansi Dokter Dunia Singgung Pemurnian COVID-19, dr Tirta: Kayak Bensin


Dalam salah satu klaimnya, Aliansi Dokter Dunia menyebut 90 persen hasil positif dalam tes PCR (polymerase chain reaction) untuk COVID-19 adalah false positive. Pasalnya, sampel virus tidak dimurnikan.

"Dimurnikan itu apa maksudnya? Sulingan? Sulingan bensin?" celetuk influencer yang juga dokter, dr Tirta Mandira Hudhi, dalam perbincangan di Instagram Live bersama seorang kandidat doktor dari Kobe Unversity, dr Adam Prabata, Selasa (27/10/2020).


Istilah 'bensin murni' memang pernah populer di masa kejayaan mesin 2-tak. Kala itu, bensin atau bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermesin 2-tak harus dicampur dengan oli samping terlebih dahulu sebelum masuk ke ruang bakar. Bensin murni adalah bensin yang belum dicampur oli samping.


Sementara itu, klaim soal 'false positive' dalam PCR tersebut sebenarnya didasari oleh pemahaman bahwa virus Corona meninggalkan fragmen-fragmen yang terkadang masih terbaca oleh tes PCR. Hasil positif ini masih bisa didapatkan bahkan sampai beberapa pekan setelah pasien dinyatakan 'sembuh' dari COVID-19.


Menanggapi klaim tersebut, dr Adam menyebut teknologi yang ada saat ini sudah bisa mengatasi masalah tersebut. Salah satunya dengan Meta Genomic RNA Sequencing.


"Cairan yang ada di paru-paru diambil, terus ada prosesnya supaya isinya RNA semua," jelas dr Adam.


WHO sendiri dalam rekomendasi terbarunya memang sudah tidak mewajibkan hasil PCR negatif bagi pasien COVID-19 bergejala ringan-sedang untuk mengakhiri isolasi (discharge from isolation). Isolasi dinyatakan selesai jika sudah tidak bergejala dan sudah menjalani isolasi 10-13 hari.


Dalam praktiknya, beberapa pasien memang masih akan mendapat hasil positif hingga beberapa pekan setelah dinyatakan 'sembuh', yakni ketika sudah tidak bergejala dan masa isolasinya berakhir. Namun diyakini, statusnya sudah tidak 'infectious' atau tidak menularkan virus.

https://nonton08.com/basic-instinct-2-2006/

Rabu, 28 Oktober 2020

3 Misinformasi dalam Video Viral Aliansi Dokter Dunia 'Penyangkal' COVID-19

 Dalam siaran konferensi pers, juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan terdapat tiga misinformasi dalam video viral Aliansi Dokter Dunia. Ia menegaskan bahwa video tersebut termasuk ke dalam kategori misinformasi.

"Penting untuk diketahui oleh masyarakat bahwa konten pada video yang disebarkan kelompok aliansi dokter dunia itu termasuk dalam kategori misinformasi," jelas Prof Wiku dalam siaran pers di BNPB melalui kanal YouTube Selasa (27/10/2020).


Prof Wiku menjelaskan ada tiga misinformasi terkait COVID-19. Salah satunya adalah keyakinan terhadap konspirasi.


Misinformasi pertama adalah keyakinan yang bersifat umum, kedua yaitu keyakinan terhadap teori konspirasi, dan yang ketiga adalah keyakinan dari agama.


Prof Wiku mencontohkan salah satu misinformasi dari video tersebut terkait COVID-19. Dalam video itu menyamakan dampak virus Corona dengan influenza.


"Konten informasi dalam video ini dapat diidentifikasikan sebagai misinformasi yang muncul dengan menyamakan COVID-19 dengan influenza. Penting untuk diketahui, penyebab dinamika transmisi dan akibat dari kedua penyakit tersebut sangat berbeda," kata Prof Wiku.


Selain itu, Prof Wiku mengatakan misinformasi ini bisa mempengaruhi respon masyarakat terhadap suatu informasi. Agar tidak terjadi, ia menyarankan masyarakat untuk mengevaluasi kredibilitas informasi pada lembaga yang bisa dipercaya seperti Badan Kesehatan Dunia atau WHO, PBB, Centers for Disease Control (CDC).


Khusus di Indonesia, lembaga yang bisa dipercaya untuk mengevaluasi informasi terkait COVID-19 seperti Kementerian Kesehatan RI dan Satgas Penanganan COVID-19.

https://cinemamovie28.com/the-book-thief/


Studi Ungkap Pasien OTG Corona Kehilangan Antibodi Lebih Cepat


 Pasien virus Corona COVID-19 tanpa gejala atau (OTG) tampaknya kehilangan antibodi lebih cepat daripada pasien yang menunjukkan gejala COVID-19. Temuan ini diungkap oleh satu penelitian terbesar di Inggris yang diterbitkan pada Selasa (27/10/2020).

Penemuan oleh Imperial College London dengan Ipsos Mori menunjukkan, bahwa hilangnya antibodi pasien berusia 18 hingga 24 tahun terjadi lebih lambat dibandingkan dengan pasien yang berusia 75 tahun ke atas.


Secara keseluruhan, riset terhadap sampel yang diambil dari ratusan ribu orang di seluruh Inggris antara pertengahan Juni dan akhir September itu menunjukkan prevalensi antibodi virus turun lebih dari seperempat.


Penelitian ini ditugaskan oleh pemerintah Inggris oleh Imperial College menunjukkan, respons kekebalan orang terhadap COVID-19 berkurang seiring waktu setelah infeksi.


"Penelitian ini penting, membantu kita memahami sifat antibodi COVID-19 dari waktu ke waktu," jelas Menteri Kesehatan Inggris, James Bethell, dikutip dari laman France 24.


Kendati demikian, para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian tersebut memperingatkan bahwa masih banyak hal yang belum diketahui soal respons antibodi orang dalam jangka panjang terhadap virus corona.


"Masih belum jelas tingkat imunitas seperti apa yang disediakan antibodi, atau berapa lama imunitas ini bertahan," kata peneliti dari Imperial College, Paul Elliott.


Studi ini melibatkan 365.000 orang dewasa yang dipilih secara acak yang melakukan tiga putaran tes tusuk jari di rumah untuk antibodi virus Corona antara 20 Juni dan 28 September. Hasilnya menunjukkan, jumlah orang dengan antibodi turun 26,5 persen dalam perkiraan tiga bulan.


Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa proporsi populasi Inggris dengan antibodi turun dari 6,0 persen menjadi 4,4 persen.


Penurunan jumlah penduduk dengan antibodi COVID-19 tersebut bertepatan dengan prevalensi virus yang turun secara dramatis di seluruh Inggris. Pasca pemberlakuan lockdown secara nasional selama berbulan-bulan.


Namun, riset tersebut juga menemukan bahwa jumlah petugas kesehatan yang dites positif untuk antibodi COVID-19 tidak berubah dari waktu ke waktu, berpotensi mencerminkan paparan virus yang berulang atau lebih tinggi.


"Penelitian yang besar ini telah menunjukkan bahwa proporsi orang dengan antibodi yang terdeteksi menurun seiring waktu," kata Helen Ward, salah satu peneliti utama.


"Kami belum tahu apakah ini akan membuat orang-orang ini berisiko terinfeksi ulang oleh virus yang menyebabkan COVID-19. Akan tetapi, penting bagi setiap orang untuk terus mengikuti panduan untuk mengurangi risiko bagi diri mereka sendiri dan orang lain," pungkasnya.

https://cinemamovie28.com/monster-hunt/