Kamis, 30 April 2020

Ilmuwan China: Sulit Mengungkap Misteri Pasien Pertama Corona

Menemukan patient zero atau pasien pertama yang menderita COVID-19 bukanlah hal yang mudah. Tugas tersebut membutuhkan kolaborasi skala global agar menemui kesuksesan.
Demikian dikatakan oleh Jin Qi, ilmuwan Institute of Pathogen Biology yang bernaung di bawah Chinese Academy of Medical Sciences. Menemukan penderita pertama menurut dia, perlu riset yang melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Ia mencontohkan sejauh ini, ilmuwan belum menemukan patient zero pandemi flu tahun 1918, HIV ataupun flu H1N1 yang merebak di tahun 2009.

"Jika patient zero tidak bergejala atau gejalanya sangat ringan, dia mungkin tidak pergi ke dokter dan tidak ada catatan medis," kata Jin, dikutip detikINET dari Inquirer.

Beberapa pakar mengajukan usul tes antibodi untuk melacak patient zero. Akan tetapi tes yang ada saat ini hanya dapat memberitahu apakah seseorang pernah terinfeksi di masa silam, bukan waktu persisnya.

Liu Peipei, pakar virus di Chinese Center for Disease Control and Prevention, mengatakan jika makin banyaknya angka orang dengan antibodi COVID-19 ataupun yang tanpa gejala merupakan dua halangan utama dalam menemukan pasien pertama.

Liu mengakui bahwa China dan beberapa negara lain memburu siapa patient zero. Namun ia berharap akan ada kolaborasi di antara mereka agar upaya tersebut berhasil.

Tujuan melacak pasien pertama COVID-19 adalah untuk memformulasikan pencegahan spesifik dan rencana pengendalian untuk mencegah wabah serupa terjadi di masa depan. "Tapi ini juga upaya ilmiah yang amat sukar," tutur Jin.

Mengenai asal muasal COVID-19, diklaim jika komunitas ilmiah telah mencapai konsensus, bahwa sangat kecil kemungkinan virus itu adalah buatan manusia, melainkan berasal dari alam.

China Klaim Berhasil Uji Vaksin Corona Pada Monyet

China dan Amerika berlomba untuk menemukan vaksin virus Corona. Ilmuwan Negeri Tirai Bambu mengklaim sudah berhasil uji vaksin Corona pada monyet.

Hal ini diberitakan beberapa media sains seperti ScienceMag dan media umum seperti Fox News. Dilihat detikINET, Kamis (30/4/2020) uji coba dilakukan perusahaan bio teknologi China, Sinovac Biotech di Beijing.

Uji coba dilakukan kepada 8 monyet Rhesus (Macaca mulatta) dan diklaim berhasil oleh tim ilmuwan China. Percobaan ini belum dinilai oleh sesama komunitas ilmuwan dan baru ditampilkan di situs riset medis Biorxiv pada 19 April 2020.

8 Monyet diberikan virus Corona, 4 di antaranya sampai mengalami pneumonia, lalu diberikan vaksin dengan 2 dosis berbeda. Yang dikasih vaksin dosis tinggi, virusnya hilang dari paru-parunya. Yang diberi dosis rendah ada tanda-tanda virus, tapi monyetnya bisa menjaga kondisi tubuh.

"Ini memberikan kami rasa percaya diri bahwa vaksin ini bisa bekerja pada manusia," kata Meng Weining, direktur senior Sinovac untuk urusan peraturan luar negeri.

Florian Kramer, virologis dari Icahn School of Medicine at Mount Sina mengatakan eksperimen dengan monyet adalah cara lama, tapi bisa dijalankan. Eksperimen macam ini bisa dilakukan produsen vaksin di negera berkembang dan miskin.

Zoom Terancam Dicaplok Facebook?

- Dengan kepopulerannya yang sedang moncer saat ini, sangat mungkin Zoom menjadi incaran akuisisi perusahaan lain. Facebook yang tercatat beberapa kali mengakuisisi platform populer, mungkin saja tertarik meminangnya.
Setidaknya demikian prediksi sejumlah analis. Facebook sebelumnya sukses mengakuisisi Instagram dan WhatsApp, sehingga keduanya kini berada di bawah naungannya. Sempat pula ingin mencaplok Snapchat tetapi gagal.

Namun menurut beberapa ahli kebijakan, andai CEO Facebook Mark Zuckerberg berniat mengakuisisi Zoom, akan tidak mudah baginya. Hal ini dikarenakan Facebook terlibat isu antimonopoli dengan Federal Trade Commissions (FTC) yang mengancam untuk melepaskan Instagram dan WhatsApp.

Dikutip dari New York Post, dalam kondisi normal, akuisisi Zoom mungkin tidak terlalu bermasalah ketimbang kesepakatan untuk membelinya. Facebook dapat menyatakan bahwa mereka tidak beroperasi di ceruk utama Zoom yang menyediakan video meeting untuk bisnis.

"Facebook mungkin memiliki pangsa pasar nol persen untuk aplikasi rapat online. Jadi kesepakatan (akuisisi) itu mungkin. Facebook dapat berargumen bahwa Zoom sangat penting untuk ekonomi di tengah pandemi Corona, sehingga Zoom memerlukan perusahaan sekuat Facebook untuk menangani konferensi online," kata Seth Bloom, penasihat umum untuk Senate Antitrust Subcommittee AS.

Akhir pekan lalu, Facebook meluncurkan fitur video conference untuk aplikasi Messenger-nya yang disebut Messenger Rooms. Perlu ada perbedaan krusial dari fitur ini untuk memungkinkan akuisisi Zoom.

Ketika Facebook mengakuisisi Instagram pada 2012, mereka berargumen bahwa kesepakatan senilai USD 1 miliar ini layak dilakukan karena Facebook berada di area jejaring sosial, bukan area layanan berbagi foto, sehingga tidak akan menimbulkan isu antimonopoli.

Namun seperti yang dilaporkan The New York Post pada Februari, FTC menemukan sebuah dokumen yang ditulis seorang eksekutif Facebook tingkat tinggi yang mengatakan bahwa raksasa jejaring sosial tersebut membeli Instagram untuk menghilangkan pesaing potensial.

Facebook sendiri menolak mengomentari dokumen yang dilaporkan. Kini, FTC sedang menyelidiki merger Facebook di masa lalu, termasuk Instagram, untuk meneliti perilaku anti persaingan.

"Saya pikir akuisisi Zoom oleh Facebook akan sulit di lingkungan seperti ini. Penasihat politis Zuck mungkin akan mengatakan kepadanya ini bukan waktu yang tepat untuk mencoba akuisisi," kata Bloom.

Ilmuwan China: Sulit Mengungkap Misteri Pasien Pertama Corona

Menemukan patient zero atau pasien pertama yang menderita COVID-19 bukanlah hal yang mudah. Tugas tersebut membutuhkan kolaborasi skala global agar menemui kesuksesan.
Demikian dikatakan oleh Jin Qi, ilmuwan Institute of Pathogen Biology yang bernaung di bawah Chinese Academy of Medical Sciences. Menemukan penderita pertama menurut dia, perlu riset yang melibatkan berbagai disiplin ilmu.

Ia mencontohkan sejauh ini, ilmuwan belum menemukan patient zero pandemi flu tahun 1918, HIV ataupun flu H1N1 yang merebak di tahun 2009.

"Jika patient zero tidak bergejala atau gejalanya sangat ringan, dia mungkin tidak pergi ke dokter dan tidak ada catatan medis," kata Jin, dikutip detikINET dari Inquirer.

Beberapa pakar mengajukan usul tes antibodi untuk melacak patient zero. Akan tetapi tes yang ada saat ini hanya dapat memberitahu apakah seseorang pernah terinfeksi di masa silam, bukan waktu persisnya.

Liu Peipei, pakar virus di Chinese Center for Disease Control and Prevention, mengatakan jika makin banyaknya angka orang dengan antibodi COVID-19 ataupun yang tanpa gejala merupakan dua halangan utama dalam menemukan pasien pertama.

Liu mengakui bahwa China dan beberapa negara lain memburu siapa patient zero. Namun ia berharap akan ada kolaborasi di antara mereka agar upaya tersebut berhasil.

Tujuan melacak pasien pertama COVID-19 adalah untuk memformulasikan pencegahan spesifik dan rencana pengendalian untuk mencegah wabah serupa terjadi di masa depan. "Tapi ini juga upaya ilmiah yang amat sukar," tutur Jin.

Mengenai asal muasal COVID-19, diklaim jika komunitas ilmiah telah mencapai konsensus, bahwa sangat kecil kemungkinan virus itu adalah buatan manusia, melainkan berasal dari alam.