Senin, 06 Januari 2020

Ini Cerita Lain Pulau Komodo yang Mungkin Belum Kamu Tahu (2)

Masyarakat bergotong-royong untuk membantu pembuatan perpustakaan, mulai dari iuran dana, makanan dan tenaga. Kami berhasil mengumpulkan sekitar 2.000 buku yang berasal dari donatur di Pulau Jawa. Tim KKN juga membantu acara pernikahan masyarakat.

Salah satu tradisi yang menunjukkan kearifan lokal di desa wisata komodo adalah tradisi pernikahan. Hal yang unik dari tradisi pernikahan adalah warga satu desa bersatu mengumpulkan uang hingga terkumpul puluhan juta, kemudian warga bergotong-royong membuat kue khas komodo.

Sebelum acara pesta, tim KKN bersama pemuda desa mengundang warga untuk menghadiri acara dengan cara door to door ke setiap rumah. Pada malam puncak, tradisi yang harus ada dalam acara pernikahan adalah adu joget. Adu joget dilakukan oleh keluarga pengantin perempuan melawan keluarga pengantin laki-laki diiringi biduan dari Bima.

Selain itu, Masyarakat Peduli Sampah (MPS) Tim KKN berkesempatan mengeksplor keindahan Taka Makassar. Tujuan kami tak hanya untuk berwisata melainkan untuk menjaga keindahan ekosistem alam dengan memungut sampah dan senam pagi.

Sesampainya di Taka Makassar. Mata akan disuguhkan dengan hamparan pasir putih kemerah-merahan berpadu dengan kejernihan air berwarna tosca, dilengkapi keindahan pemandangan bawah laut yang mempesona.

Kapal-kapal terlihat seperti melayang di atas air karena kejernihan air lautnya. Taka Makassar merupakan gundukan pasir putih yang membentuk pulau berbentuk huruf C.

Sesampainya di sana, tak sabar hati ini untuk melangkahkan kaki mengambil spot-spot surgawi dengan lensa kamera. Pemandangan sungguh luar biasa membuat saya semakin bangga terlahir menjadi generasi muda Indonesia.

Matahari bersinar cerah diiringi hembusan angin sepoi-sepoi yang membuat kami semakin bersemangat untuk melakukan senam pagi. Iringan lagu daerah NTT mengiringi gerak senam kami, membuat tubuh terasa bugar dan semangat.

Kemudian kami membersihkan pulau dengan mengambil sampah yang berserakan. Sebagai generasi muda, tidak sepantasnya kita merusak keindahan alam Indonesia dengan membuang sampah sembarangan. Bawalah sampah atau buanglah sampah pada tempatnya, agar keindahan alam Indonesia tetap lestari.

Gili Lawa merupakan sebuah pulau kecil tak berpenghuni di gugusan Kepulauan Komodo. Semenjak tragedi kebakaran pada tanggal 1 Agustus 2018, Gili Lawa sangat sepi pengunjung.

Gili Lawa yang dulunya terkenal dengan keindahan hijaunya hamparan sabana kini telah berubah menjadi gersang. Sabana menjadi cokelat dan pepohonan terlihatrapuh tanpa daun. Akan tetapi pemandangan tersebut memiliki daya tarik tersendiri, kita seperti berada di Korea dengan suasana musim gugur yang menghangatkan.

Pada pulau kecil yang tak berpenghuni ini terdapat satu posko dengan arsitektur khas NTT yang dihuni petugas TNK untuk menjaga dan melindungi Gili Lawa. Kamimemutuskan untuk berteduh dari teriknya sinar matahari di Posko TNK sambil mengisi tenaga sebelum memunguti sampah.

Setelah sang surya telah bersembunyi di balik awan, bergegas kami melangkahkan kaki memunguti sampah di Gili Lawa. Kemudian kami beristirahat di bawah pohon sambil membawa kulit mangga yang buahnya telah kita makan di Taka Makassar.

Ini Cerita Lain Pulau Komodo yang Mungkin Belum Kamu Tahu

Spot-spot wisata bak surga alam di Pulau Komodo memang tak ada habisnya untuk kita eksplor. Hamparan gugusan pulau diselimuti sucinya pasir putih kemerah-merahan dilengkapi keeksotisan dunia bawah laut menjadi magnet tersendiri untuk kita jelajahi.
Berkesempatan mengabdi selama 45 hari di Pulau Komodo menjadi motivasi saya untuk mengeksplor kearifan lokal masyarakat, pesona alam dan tentunya memperdalam seluk-beluk sejarah Komodo. Inilah ringkasannya.

Indahnya Desa Komodo, desa terpencil dengan sejuta pesona kearifan lokalnya merupakan desa terpencil yang jauh dari hingar bingar kota yang terletak di tengah lautan, di bawah kaki Gunung Ara. Desa ini terdiri dari 1500 jiwa dengan mayoritas penghuni desa berasal dari Suku Komodo. Sisanya adalah peranakan Bugis atau Bima.

Desa Komodo termasuk desa wisata yang sering dikunjungi turis lokal maupun internasional karena kearifan lokal yang masih terpelihara. Keunikan warganya yang tinggal bersama komodo juga menjadi budaya yang mendatangkan para wisatawan ke sana. Meskipun banyak kasus warga desa dimakan komodo, tetapi mereka tetap menyayangi komodo. Mereka menganggap bahwa komodo adalah nenek moyang mereka.

Sejarah komodo berasal dari seorang Putri Ina Matrea yang melahirkan anak kembar, satu manusia dan satu komodo. Masyarakat sering memanggil komodo dengan sebutan seba yang artinya kembaran.

Hal yang unik dari desa ini, yaitu masyarakat yang membiarkan kambing peliharaannya berkeliaran di desa. Sehingga saat komodo turun ke desa, ia tidak akan memakan manusia tetapi akan memakan kambing. Tak jarang saat kita berjalan di desa, banyak kambing yang berlalu-lalang dan bermain dengan anak-anak.

Jarangnya pepohonan hijau di desa membuat kambing di Desa Komodo tidak hanya mengkonsumsi rumput tetapi mengkonsumsi makanan yang sama dengan pemiliknya, seperti nasi, ikan, sayur, roti dan kopi. Listrik di desa ini menyala setiap jam 17.00 WITA sampai 06.00 WITA sehingga saat pagi sampai sore hari listrik akan mati. Desa Komodo hanya memiliki satu SD dan SMP yang disebut SD-SMP Satu Atap.

Kondisi sekolah masih sangat terbatas, tidak memiliki kamar mandi, juga kekurangan ruang kelas. Sehingga 1 ruang kelas dibagi menjadi 2 kelas dan beberapa kelas masih menggunakan gubug kecil di pinggir sekolah.

Sesuai misi kami sebagai calon pendidik bangsa yang mencerdaskan generasi emas. Kami memiliki beberapa program yaitu program mengajar di SD dan SMP, mengajar cara cuci tangan dan gosok gigi, program mentoring, pelestarian permainan tradisional, membuat vertical garden tanaman toga dari botol bekas, kerja bakti bersih lingkungan, pelatihan Tari Arugelle, pelatihan nugget bagi perempuan, pembuatan perpustakaan dan senam kebugaran jasmani.

Tim KKN bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Pulau Komodo (IMPK) membangun perpustakaan desa. Perjuangan membangun perpustakaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Desa Komodo terletak jauh dari kota, sehingga kami mencari bahan baku bangunan di sekitar desa. Kami mencari pasir dan batu di pulau Pengi, mencari kayu di Gunung Ara, mendatangkan papan, cat dan semen dari Labuan Bajo.