Jumat, 01 Januari 2021

Dokter Ini Samakan Pelanggar Protokol Kesehatan dengan Pembunuh

 Dengan kondisi kasus COVID-19 terus meningkat, masih ada saja orang yang melanggar protokol kesehatan untuk merayakan tahun baru. Seorang dokter di Inggris menyebut mereka yang kemudian menularkan virus ini ke orang lain sama saja seperti pembunuh.

Profesor Hugh Montgomery dari University College London menyebut tidak semua orang bisa menyadari dirinya terinfeksi karena ada kasus yang tidak bergejala. Orang-orang ini bila kemudian berkumpul tanpa menerapkan protokol seperti masker, menjaga jarak, dan rutin cuci tangan, bisa tanpa sadar membuat orang lain jatuh sakit.


Sementara tidak ada jaminan orang yang baru terinfeksi akan mengalami gejala yang sama. Bagi beberapa individu COVID-19 dapat menimbulkan gejala parah bahkan sampai kematian.


"Saya sendiri juga sudah muak dengan virus ini. Saya juga ingin bertemu teman, keluarga, dan memeluk seseorang, tapi tidak bisa. Kita benar-benar tidak bisa melakukan ini sekarang," kata Prof Hugh kepada BBC dan dikutip Jumat (1/1/2021).


"Orang-orang yang menyaksikan dan berperilaku seperti ini, tidak memakai masker, maka ada darah di tangannya. Mereka menyebarkan virus yang kemudian akan disebarkan lagi, dan orang-orang mati," lanjutnya.


Dalam situs resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dilaporkan ada sekitar 14.000 kematian karena COVID-19 di tanggal 31 Desember 2020. Hal tersebut menjadikan akhir tahun 2020 sebagai hari dengan rekor kematian pasien COVID-19 tertinggi sejak pandemi.


"Para pelanggar mungkin tidak sadar mereka sudah membunuh orang lain," pungkas Prof Hugh.

https://movieon28.com/movies/deuce-bigalow-european-gigolo/


Kenapa Hasil Tes COVID-19 Maia Estianty Berubah dalam Hitungan Hari?


Pengakuan musisi Maia Estianty soal pengalamannya kena Corona banyak diperbincangkan. Dalam hitungan hari, hasil tes COVID-19 yang dilakukannya cepat sekali berubah.

Pertama, Maia mengaku melakukan rapid test antigen pada Kamis (17/12/2020) dan hasilnya negatif. Selang 3 hari, ia menjalani tes swab PCR (polymerase chain reaction) pada Minggu (20/12/2020) dan hasilnya positif.


Dikutip dari tayangan Maia Aleldul TV, mantan istri Ahmad Dhani tersebut mencoba membuat analisis. Menurutnya, ada kemungkinan ia tertular dari salah seorang temannya yang pada saat itu hasil tes swab antigennya juga negatif.


"Mungkin hari Kamis itu ketika aku antigen, ada salah seorang temenku itu yang memang mungkin sudah terpapar oleh COVID, tapi memang dari swab antigen belum terdeteksi," kata Maia.


"Swab antigen itu, kalau kita bertemu dengan orang yang terpapar, baru terdeteksi oleh antigen itu setelah 5 hari kita ketemu sama orang yang terpapar tersebut," lanjut Maia menjelaskan pemahamannya tentang rapid test antigen.


Menurut pengakuan Maia, setelah melakukan tes antigen itu ia sempat kumpul-kumpul dengan temannya yang sama-sama dinyataan negatif melalui rapid test antigen. Di situlah, ia meyakini kemungkinan dirinya tertular.


Dibandingkan tes PCR yang merupakan gold standard pemeriksaan COVID-19 saat ini, rapid test antigen disebut-sebut memang memiliki sensitivitas yang lebih rendah. Salah satu kelemahannya adalah tidak bisa mendeteksi virus ketika jumlahnya masih terlalu sedikit.


Ketidakakuratan ketika didapatkan hasil negatif seperti ini disebut false negative. Dikutip dari Healthline, kemungkinan false negative umumnya lebih besar dibanding false positive, baik pada rapid test antigen maupun tes PCR.


Ketika seseorang mendapat hasil tes negatif, masih ada kemungkinan seseorang menularkan virus ke orang lain akibat ketidakakuratan pembacaan hasil tes. Kemungkinannya adalah jeda antara paparan virus dengan waktu dilakukannya tes terlalu dekat, sehingga jumlah virusnya belum cukup banyak.


"Bahkan gold standard-nya, tes swab hidung yang kita kenal, jika Anda terpapar hari ini, ada kemungkinan hasil tes masih negatif beberapa hari ke depan," kata Dr William Schaffner, pakar infeksi dari Vanderbilt University Medical Center.

https://movieon28.com/movies/charlie-bartlett/

Kamis, 31 Desember 2020

Viral Aksi Nekat Ciuman di Kereta, Protes Pembatasan Corona-Klub Malam Tutup

 Corona di dunia masih terus mencatat peningkatan kasus. Nyaris dua juta orang meninggal akibat COVID-19 di dunia.

Namun, tampaknya masih banyak yang menyepelekan Corona. Seperti yang terjadi di Rusia, ada tiga puluh pasangan melepas masker mereka dan berciuman di kereta, hal ini tentu mengejutkan para penumpang lainnya.


Dikutip dari beragam sumber, aksi ini disebut-sebut sebagai bentuk protes pembatasan yang diterapkan di kota Yekaterinburg, Rusia, untuk memperlambat penyebaran kasus COVID-19. Sekelompok pasangan muda tersebut mengklaim aturan pembatasan terkait COVID-19 'tidak masuk akal' serta akan berimbas banyak pada industri hiburan dan perhotelan.


Aksi protes ini direkam oleh banyak orang dan dibagikan secara luas di media sosial. Menurut laporan E1RU, media setempat, pasangan yang berciuman, beberapa lama kemudian memakai masker mereka lagi dan menghilang ke kerumunan di stasiun Mashinostroiteley.


Disebutkan, aksinya ini ingin menyoroti pembatalan konser dan penutupan bar pada pukul 11 malam. Para aksi demo juga protes akan larangan menggunakan transportasi publik yang penuh dan sesak.


"Musisi berbicara menentang pembatasan COVID-19 yang tidak masuk akal karena virus dianggap berisiko lebih tinggi di konser dan di restoran setelah pukul 11 malam daripada di kereta bawah tanah yang ramai selama jam sibuk," para pengunjuk rasa dikutip dari Life.


Rusia bukan satu-satunya negara yang melarang kerumunan atau pertemuan besar di klub malam dan tempat umum lainnya. Meski begitu, para pengunjuk rasa mengaku aksinya ini tak bermaksud mengganggu pelayanan setempat.

https://nonton08.com/movies/fidelity/


Bugar dan Sehat, Remaja 18 Tahun Meninggal karena Corona Usai Dirawat 3 Hari


Meski dalam kondisi bugar dan sehat, remaja 18 tahun ini meninggal akibat COVID-19 usai tertular beberapa hari sebelum Natal. Perempuan asal Chicago, Amerika Serikat, ini mulanya hanya mengalami gejala ringan.

Sarah Simental kerap mengeluh sakit kepala dan sakit tenggorokan pada tanggal 16 Desember lalu. Namun, kondisinya terus memburuk hingga merasa sesak napas dan akhirnya dibawa ke rumah sakit setempat.


"Saya langsung berpikir ini adalah gejala COVID-19," kata Deborah Simental, sang ibu, dikutip dari NBC News.


Rabu dini hari, remaja ini dibawa ke Rumah Sakit Silver Cross setelah dia mulai mengalami nyeri di bahu kirinya. Saat berada di sana, kadar oksigennya turun dan Simental harus menggunakan ventilator serta dibawa ke unit perawatan intensif.


Karena protokol virus Corona, sang ibu tidak dapat melihat putrinya saat dia dirawat di RS, tetapi dia terus mengobrol dengan putrinya lewat telepon, meyakinkan semua akan baik-baik saja.


"Saya berkata, 'Ini akan baik-baik saja' dan dia tahu dia akan merindukan Natal, dia sangat menantikan Natal," curhatnya.


"Kata-kata terakhir yang dia katakan kepadaku adalah, 'Bu, ini akan baik-baik saja," kenang sang ibu.


Tepat pada malam Natal, sang ibu akhirnya bisa mengunjungi sang putri. Saat itu, putrinya tengah dibius dan dalam keadaan tak sadar.


"Saya hanya bisa berharap dia bisa mendengar saya saat saya berbicara dengannya," tuturnya.


Pada hari Natal, remaja berusia 18 tahun itu diterbangkan ke University of Chicago Medical Center, dan pada 26 Desember, dia meninggal dunia.


"Secepat itu," kenangnya.


"Tidak ada kondisi yang mendasari sama sekali. Dia adalah wanita muda berusia 18 tahun yang sangat sehat. Kami proaktif dengan kesehatan, kami semua mendapat vaksin flu dan tahu pentingnya karena saya selalu menekankannya dalam hal jarak sosial dan memastikan kami selalu memakai masker," lanjutnya.


Sang ibu merasa kepergian anaknya masih terlalu cepat. Ia bahkan masih belum bisa merelakan kepergian putrinya tersebut.


Menurut keterangan medis setempat, Simental meninggal karena gagal napas usai sebelumnya mengidap happy hypoxia akibat virus Corona.

https://nonton08.com/movies/dont-torture-a-duckling/