Jumat, 04 September 2020

Pakar: Hukuman Masuk Peti Mati untuk Pelanggar PSBB Tak Bakal Bikin Jera

Sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan di tengah pandemi Corona makin beragam. Kini, ada sanksi masuk peti mati bagi warga yang tidak memakai masker di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Di wilayah lain, yakni di Bogor, pelanggar protokol kesehatan dimasukkan ambulans berisi keranda mayat. Tujuannya sama, hendak memberikan efek jera.

Hanya saja, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, menilai pemberian hukuman seperti itu tidak memberikan efek jera. Jika dilihat dari tayangan video yang beredar di lini masa, lebih banyak orang yang menganggapnya hanya bercandaan.

"Ya kalau masuk peti harus lama, tapi kalau cuman masuk doang ngapain. Ada orang yang takut dan ada juga orang yang tidak takut. Jadi harus terukur," katanya saat dihubungi detikcom, Jumat (4/9/2020).

Menurut dr Miko, sanksi yang diberikan harus yang benar-benar serius dan terukur tapi tidak berisiko, misalnya menyapu jalan.

"Kalau misalkan disuruh gali kubur kan berisiko, jadi cari hukuman yang tidak berisiko. Seperti menyapu jalanan, nah tapi menyapu jalanan ini juga tidak sebentar. Sekitar satu sampai dua kilo," tuturnya.

Senada dengan dr Miko, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, mengatakan memasukkan warga yang melanggar protokol kesehatan ke peti mati tak akan membuat masyarakat sadar. Terlebih jika seseorang sudah 'bebal' dan tak mengindahkan aturan yang ada.

"Mereka mungkin ketawa-ketawa karena orang tahu itu peti-petian (jadi diangggap bercanda). Kalau mau nakutin, ya yang benar. kalau gitu (peti mati) ya bercanda aja nggak ada efeknya," ungkap Pandu.

Curhat Dokter Tangani Corona: Soroti Kapasitas Ruang Isolasi dan Kondisi Nakes

Ketersediaan tempat tidur dan ruang isolasi bukan cuma satu-satunya masalah dalam penanganan COVID-19. Namun, jumlah SDM dokter yang memadai juga menjadi hal penting dalam merawat pasien Corona. Jika tempat tidur ada tapi yang merawat pasien tidak ada maka akan percuma.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat dokter di Indonesia yang meninggal akibat terpapar Corona sudah mencapai 100 orang. Ini menjadi bukti bahwa berkurangnya SDM dalam merawat pasien Corona COVID-19.

Keduanya, ketersediaan tempat tidur dan dokter, termasuk hal esensial dalam merawat pasien Corona. Salah satu dokter yang merawat pasien Corona, dr Disa Edralyn, mengatakan semakin banyak pasien maka tempat tidur dan tenaga medis yang dilibatkan juga harus sebanding.

"Kalau di lapangan SDM nya tumbang otomatis kita tidak bisa merawat semaksimal yang bisa kita ambil, jadi lama-lama banyak pasien yang tidak tertangani. Kemudian kapasitas tempat tidur kalau tenaga medisnya ada tapi tempatnya tidak ada kan juga sama saja," kata dr Disa saat dihubungi detikcom, Rabu (2/9/2020).

dr Disa mengatakan, penambahan pasien virus Corona di rumah sakit bulan terakhir ini cukup banyak. Ia menceritakan bahwa beberapa hari ini tren kasus virus Corona di Indonesia di atas 2 hingga 3 ribu, dan di Jakarta pun semakin naik yang biasanya hanya 600 kasus tapi sekarang terus meningkat.

"Sebenarnya kalau mau dibilang, kalau kasusnya tidak naik kita tracing sebanyak apapun nggak akan naik. Ini kan naik, berarti memang kasusnya bertambah terus," kata dr Disa.

Selain itu, dr Disa berpesan untuk teman-teman yang berjuang di garda depan untuk terus semangat karena pandemi Corona masih panjang, jaga kesehatan dan protokol kesehatan semakin diketatkan.

"Harus tetap berjuang, perjuangan kita masih panjang, tetap semangat, jangan lupa protokol kesehatan semakin diketatkan, dan sabar-sabar pandemi ini masih panjang. Kita punya banyak tugas selain mengobati, kita juga banyak tugas untuk mengedukasi," pungkas dr Disa.
https://cinemamovie28.com/hangout-with-mantan-2/

Meksiko Catatkan Rekor Kematian Petugas Kesehatan Tertinggi di Dunia

Sebuah organisasi non-pemerintah, Amnesty International mengungkapkan bahwa Meksiko kini menjadi negara dengan kematian petugas kesehatan paling banyak di dunia, akibat dari pandemi virus Corona yang melanda. Menurut organisasi tersebut, kematian petugas kesehatan di negara tersebut adalah yang terbanyak di bumi.
Dari 7.000 petugas medis yang meninggal di dunia akibat virus Corona, 1.320 di antaranya terjadi di Meksiko. Sementara di negara lain jumlahnya masih di bawahnya, seperti Amerika Serikat 1.077 kasus, Brasil 634 kasus, dan India 573 kasus.

"Berbulan-bulan pandemi ini berlangsung, banyak petugas kesehatan yang meninggal di negara-negara seperti Meksiko, Brasil, dan AS," kata Steve Cockburn, Kepala Keadilan Ekonomi dan Sosial di Amnesty International yang dikutip dari Reuters, Jumat (4/9/2020).

"Harus ada kerja sama global untuk memastikan semua petugas kesehatan diberikan alat pelindung yang memadai, sehingga mereka bisa melanjutkan pekerjaan vital mereka tanpa mempertaruhkan nyawa mereka sendiri," lanjutnya.

Berdasarkan analisis Reuters terhadap data pemerintah Meksiko pada Agustus lalu, risiko kematian para petugas kesehatan di negara tersebut ternyata empat kali lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Bahkan jumlah ini delapan kali lebih besar dari Brasil.

Amnesty meminta agar diberikan bantuan lebih banyak untuk para petugas medis. Sebagai contoh, Brasil juga sempat mengeluh kurangnya alat pelindung diri atau APD.

"Sepanjang pandemi, pemerintah telah memuji petugas kesehatan sebagai pahlawan, tetapi begitu banyak pekerja yang meninggal karena kurangnya perlindungan dasar," tegas Cockburn.

Di Meksiko, kasus virus Corona sudah mencapai angka 610.000, dan angka kematiannya hampir 66.000. Bahkan pada awal pekan ini, pemerintah Meksiko mengatakan sebanyak 102.494 petugas kesehatan telah tertular virus Corona.

Pakar: Hukuman Masuk Peti Mati untuk Pelanggar PSBB Tak Bakal Bikin Jera

Sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan di tengah pandemi Corona makin beragam. Kini, ada sanksi masuk peti mati bagi warga yang tidak memakai masker di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Di wilayah lain, yakni di Bogor, pelanggar protokol kesehatan dimasukkan ambulans berisi keranda mayat. Tujuannya sama, hendak memberikan efek jera.

Hanya saja, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr dr Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, menilai pemberian hukuman seperti itu tidak memberikan efek jera. Jika dilihat dari tayangan video yang beredar di lini masa, lebih banyak orang yang menganggapnya hanya bercandaan.

"Ya kalau masuk peti harus lama, tapi kalau cuman masuk doang ngapain. Ada orang yang takut dan ada juga orang yang tidak takut. Jadi harus terukur," katanya saat dihubungi detikcom, Jumat (4/9/2020).

Menurut dr Miko, sanksi yang diberikan harus yang benar-benar serius dan terukur tapi tidak berisiko, misalnya menyapu jalan.

"Kalau misalkan disuruh gali kubur kan berisiko, jadi cari hukuman yang tidak berisiko. Seperti menyapu jalanan, nah tapi menyapu jalanan ini juga tidak sebentar. Sekitar satu sampai dua kilo," tuturnya.

Senada dengan dr Miko, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, mengatakan memasukkan warga yang melanggar protokol kesehatan ke peti mati tak akan membuat masyarakat sadar. Terlebih jika seseorang sudah 'bebal' dan tak mengindahkan aturan yang ada.

"Mereka mungkin ketawa-ketawa karena orang tahu itu peti-petian (jadi diangggap bercanda). Kalau mau nakutin, ya yang benar. kalau gitu (peti mati) ya bercanda aja nggak ada efeknya," ungkap Pandu.
https://cinemamovie28.com/the-duel-2/