Seorang petugas di taman margasatwa tewas usai diserang hiu. Peristiwa itu terjadi di Great Barrier Reef, Australia.
Kabar duka itu disampaikan oleh Perdana Menteri Negara Bagian Queensland, Annastacia Palaszczuk. Dia bilang korban berusia 23 tahun itu bekerja di Taman dan Satwa Liar Queensland.
"Sekali lagi sebuah keluarga di luar sana berduka untuk seorang pemuda yang secara tragis telah kehilangan nyawanya dalam serangan hiu yang mengerikan," kata Annastacia seperti dikutip AP.
Berdasarkan keterangan dari kepolisian, korban tewas itu diserang hiu pada Senin di dekat North West Island, 75 kilometer (47 mil) timur laut Gladstone. Saat masih berada di perairan terbuka, pria itu sempat mendekati kapal dan meminta pertolongan.
Rupanya, dia menderita luka parah pada kaki dan lengannya. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong.
Saat kejadian ada empat petugas yang turun ke laut. Tapi, dia merupakan orang yang berada paling belakang dari rombongan.
"Pada akhirnya ada empat orang berenang di belakang kapal, mereka kedinginan setelah berada di air seharian," kata Sersan Senior Detektif Tony Anderson.
Serangan hiu di Great Barrier cukup rutin. Dalam 18 bulan terakhir, hiu telah menyerang tiga orang berbeda.
Plesiran ke Titik Kilometer Nol, Memetik Makna dari Sabang Sampai Merauke
Mumpung berada di Medan, perjalanan kali ini harus bablas sampai ke Aceh. Setelah sampai di provinsi yang dijuluki Serambi Mekah itu, sayang kalau tak menuju Kilometer Nol di Sabang.
Sabang akrab sekali di telinga, melalui lagu, melalui soal-soal di ujian saat Sekolah Dasar, juga iklan produk di televisi.
Nah, pada Agustus 2019, saya mengunjungi kota Medan. Saya menginap selama tiga hari di ibu kota Sumatera Utara itu.
Setelah berada di Medan, barulah saya menyadari Sabang itu sudah cukup dekat. Ya, Sabang yang menjadi ujung barat Indonesia yang sudah saya kenal melalui laku, soal ujian, serta iklan produk di televisi itu.
Tanpa pikir panjang, saya memesan tiket penerbangan ke Banda Aceh. Tujuan saya cuma satu menuntaskan penasaran terhadap Sabang.
Setelah sampai di Aceh, saya belum tahu bakal menginap dian tinggal berapa hari di sini. Tak disangka saya bertemu rekanan saya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh yaitu Ishak Hasan.
Saya dibawa keliling kota Banda Aceh oleh beliau pada hari itu. Beliau juga menyarankan saya untuk mencoba pergi ke Kota Sabang ujung bagian barat Indonesia. Wah, pas sekali, saya juga sudah menyimpan mimpi untuk ke Sabang.
Niat saya menuju Sabang kian bulat setelah mendengarkan cerita Ishak. Saya pun tak buang-buang waktu, langsung menuju Sabang.
Karena Banda Aceh dan Sabang dipisahkan perairan, saya pun menuju pelabuhan. Sembaari menunggu jadwal kapal ferry bapak Ishak mengajak saya mengunjungin Museum Tsunami yang di desain oleh Ridwan Kamil.
Mendekati jadwal keberangkatan kapal, saya kemudian menuju pelabuhan. Rupanya kapal yang saya tumpangi adalah kapal terakhir hari itu.
Sesampainya di Sabang, saya menyewa sepeda motor. Melajulah saya ke hotel yang berjarak 40 km dari pelabuhan.
Setelah melewati jalanan antara pelabuhan dan penginapan, saya menjadi sedikit tak mempercayai cerita Ishak. Sebab, kondisi yang saya temui berbeda dengan kisah manisnya. Tidak ada laut biru, karena kanan kiri hutan, tidak ada kehidupan sama sekali, jalan kosong bak pulau tak ber penghuni.
Rupanya, di menit ke-20 dalam perjalanan saya dengan sepeda motor, lah cerita Ishak menemukan faktanya. Saya menjumpai pantai dan perkampungan.
Rasa gembira itu membuat saya bersemangat untuk segera mencari penginapan. Saya mengecek aplikasi rekomednasi penginapan. Dari eberapa hotel yang ditawarkan, saya memutuskan untuk menginap di Pade Dive Resort Sabang.