Minggu, 05 Januari 2020

Sungai Sejernih Kaca di Sumatera Barat

Mungkin belum banyak traveler yang tahu tentang Hulu Banda. Inilah sungai di Sumatera Barat yang airnya sejernih kaca.

Gemericik air jatuh terdengar bagai suara berirama yang mengalun merdu dari hempasan air yang menuruni anak tangga demi anak tangga dari bendung irigasi sepanjang hampir 100 meter itu.

Suara desiran air itu terdengar indah tatkala ditingkahi oleh bunyi kicau murai yang berterbangan di angkasa. Cahaya matahari yang bersinar cerah pagi itu, memantul di riak-riak air yang menimbulkan efek berkelap-kelip di permukaan telaga kecil yang tenang.

Hulu Banda, begitu masyarakat sekitar menyebutnya. Banda dalam bahasa Minangkabau berarti sungai, sehingga 'Hulu Banda' dapat diartikan sebagai Hulu Sungai, atau pangkal sungai yang bermula dari balik perbukitan yang membentuk semacam waduk atau telaga kecil di daerah Taram tak seberapa jauh dari Kota Payakumbuh Sumatera Barat.

Pagi yang cerah itu, tampak serombongan pengunjung yang terlihat berjalan beriringan melintasi aliran air yang tepat mengalir melimpah diatas badan bendung yang cukup panjang itu.

Masih dalam suasana Lebaran, rombongan yang mengaku sebagai karyawan-karyawati Inspektorat Kota Payakumbuh, sebuah dinas yang berkantor sekitar 10 km jaraknya dari Hulu Banda itu, rupanya hendak mengadakan acara keakraban dalam rangka Halal bil Halal di alam terbuka.

Dalam keriaan bersama, gerombolanbapak-bapak dan ibu-ibu itu tampak menjinjing dan menenteng berbagai perlengkapan dan perbekalan untuk disantap bersama. Perlahan-lahan menapaki aliran bendung yang airnya teramat  jernih ini, sembari terkadang berhenti sejenak di tengah bendung, rombongan yang didominasi kaum ibu-ibu ini terlihat ceria ber-selfie ria sambil tak lupa mengangkat sedikit ujung pakaian mereka yang terlihat tersapu air yang hampir setinggi betis itu.

Iringan-iringan itu sempat nyaris macet tak ubahnya suasana kemacetan arus mudik lebaran tatkala gerombolan emak-emak itu tak mau beranjak dari tengah bendung untuk menuntaskan hasrat narsis mereka dengan jeprat-jepret berbagai gaya.

Kaum bapak-bapak yang sebenarnya sudah berat menanggung beban bawaan itu terpaksa bersabar antri di bagian belakang untuk melanjutkan barisan demi menunggu emak-emak selesai menyalurkan 'bakat' mereka itu.

Suasana alam Hulu Banda yang dikelilingi bukit-bukit hijau, berbalut hutan tropis bercampur batu cadas yang masih merupakan gugusan bukit barisan itu, memang seolah tak pernah ada habisnya memanja mata dan memuaskan hati para pemburu foto dan pecinta selfie. Telaga kecilnya yang tenang dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menyediakan jasa rakit bambu untuk pengunjung yang berminat mengitari kawasan Hulu Banda.

Airnya sangat jernih dan tenang. Bagai terlapisi oleh kaca bening, perlihatkan dasar telaga yang berupa hamparan bebatuan berwarna kuning kecoklatan, sungguh menambah daya eksotis dan magis kawasan wisata alam nan masih perawan ini.

Namun sayang seribu sayang, keindahan kawasan wisata alam seperti ini semakin lama keberadaannya semakin ditinggalkan dan tergerus oleh zaman yang serba instan. Wisata alam setapak demi setapak mulai tergeser dan terlupakan tatkala obyek wisata-wisata buatan yang menyuguhkan 'keindahan artifisial' muncul bertebaran bak cendawan tumbuh di musim hujan.

Maraknya taman-taman buatan yang menjual lokasi-lokasi yang instagramable untuk berselfie ria secara instan, baik yang berkonsep ala-ala luar negeri seperti taman eropa, taman korea dan lainnya. Atau juga yang berbasis tekhnologi dan seni berkonsep studio seperti taman foto 3D, buah karya tangan-tangan kreatif era millenial, lebih digandrungi oleh para generasi zaman sekarang.

Sehingga jadilah foto-foto didepan Menara Eiffel KW, Patung Liberty gadungan atau berfoto didepan kincir angin Belanda abal-abal, oleh sebagian orang lebih jadi pilihan yang instan dibanding keindahan pesona alam seperti danau, lembah dan lautan yang nyatanya lebih memiliki keagungan dan keanggunan yang hakiki dan sejati.

Dan sebagaimana hikmah di hari lebaran yang kembali ke fitrah, maka wisata kembali ke alam pun jadi pilihan.

Geger Listrik Jakarta Padam, Jadi Ingat Pedalaman Papua

 Warga Jakarta dibuat kelimpungan dengan matinya listrik berjam-berjam pada Minggu (4/8) kemarin. Di Papua sana, ada mereka yang masih hidup tanpa listrik.

Pemadaman massal terjadi di wilayah Jabodetabek sampai Bandung pada Minggu (4/8). Dimulai dari siang hari sekitar pukul 11.00 WIB, listrik padam ditambah jaringan telepon seluler pun mati.

Berjam-jam listrik mati, sampai-sampai transportasi umum macam kereta api dan MRT ikut lumpuh. Ada yang baru 8 jam menyala, bahkan ada juga sampai 10 jam lebih. Malah hari ini, Senin (5/8/2019) ada lagi pemadaman massal bergilir.

Matinya listrik, membuat warga Jakarta kelimpungan. Bukan begitu?

Kemarin saat mati listrik, saya berdiam sejenak. Merasakan gelapnya malam yang sunyi, sesekali terdengar suara orang saring bercengkrama. Ah rasanya sulit sekali melihat teman-teman sekomplek saling berbincang dan menghabiskan waktu bersama, karena kerap kali mereka berdiam diri di rumah dan berselancar di media sosialnya.

Saat itu pula, pikiran saya menuju ke Ugimba. Suatu desa di Kabupaten Intan Jaya, di kaki Pegunungan Jayawijaya, Papua yang sulit ditempuh. Desa di tengah hutan belantara yang dihuni suku Moni dan tanpa listrik!

Sekitar tahun 2015, saya mendatangi Desa Ugimba dalam rangkaian Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz. Untuk menuju ke sana, dari Timika naik pesawat perintis dan mendarat di Sugapa. Selanjutnya, jalan kaki 16 jam menembus hutan rimba.

Penerbangan ke Sugapa kadang ada kadang tidak ada. Itu tergantung dari cuaca, yang jika berkabut tebal dan ekstrem maka sulit dilalui. Sebenarnya bisa sih dari Timika ke Ugimba, tapi harus jalan kaki 3 hari lamanya.

Desa Ugimba pun masuk dalam trek pendakian ke Puncak Carstensz. Puncak tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 4.884 mdpl dan masuk dalam Seven Summit dunia.

Desa Ugimba berada di ketinggian 2.100 mdpl. Sungguh sejuk, hijau dan panoramanya indah. Sejauh mata memandang hanya pepohonan dan perbukitan, sesekali rumah honai alias rumah tradisional orang Papua.

Medan ke sana yang sulit dan bak dipagari perbukitan, membuat sulit pembangunan listrik dan sinyal telepon. Alhasil, saya pun merasakan bagaimana rasanya hidup tanpa listrik dan sinyal telepon.

Kalau di siang hari, tampaknya tak masalah. Saya bisa ikut mengambil air ke sungai, menanam ubi bersama mama-mama, ikut melihat para pria berburu dan berbincang dengan anak-anak mudanya.

Aktivitas suku Moni di Desa Ugimba yakni pergi berburu bagi para pria di pagi hari dan pergi ke ladang bagi wanitanya. Anak-anaknya, yang pria ikut bapaknya dan yang wanita ikut mamanya. Ke mana-mana, ya jalan kaki.

Saat masuk siang hari, para pria akan kembali ke rumah untuk makan siang. Para mama menyiapkan makanan yang dibakar dengan bebatuan dan jerami. Tidak ada sendok dan garpu apalagi piring. Meski begitu, ubinya enak lho!

Beres makan siang, mereka semua kembali pada aktivitasnya masing-masing. Barulah ketika mulai senja, sekitar pukul 5 sore, semua kembali ke rumah.

Sayup-sayup bunyi serangga mulai terdengar, saat matahari tenggelam. Hembusan angin sudah terasa dingin. Selamat malam Ugimba yang tanpa cahaya lampu.

Ketika malam, semua warga tinggal di dalam rumah. Meski cahaya bulan cukup terang, tapi masuk ke dalam hutan saat malam adalah risiko besar. Bisa-bisa celaka terpeleset masuk jurang atau cedera.

Sungguh-sungguh tenang nan syahdu. Tanpa cahaya lampu, tanpa suara kendaraan, hanya suara alam yang terdengar di malam hari.

Suku Moni di Desa Ugimba pun sudah tidur lelap sejak pukul 7 malam. Tidak ada yang begadang atau keluyuran. Mereka beristirahat, untuk kembali mengisi tenaga untuk esok hari.

Saya hanya terdiam, merasakan suasana yang jarang saya rasakan tiap hari. Merasakan malam tanpa cahaya lampu, tanpa listrik dan tanpa bunyi notification di ponsel.

Guanus dan Malama, suku Moni asli yang jadi pemandu wisata saya sudah tertidur lelap. Bahkan masih pukul 9 malam, kalau kata orang Jakarta 'masih pagi'.

Pagi hari, begitu matahari terbit, warga Desa Ugimba juga bangun. Mereka kembali bersiap-siap untuk beraktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Segar juga rasanya badan ini, tidak tidur larut malam.

Saat Jakarta mati listrik (kapan pun itu), pikiran saya pasti selalu mengingat Ugimba. Tapi apakah sampai selamanya mereka, saudara sebangsa kita di sana, hidup tanpa listrik seperti itu?