Selasa, 17 Desember 2019

Senja Merah Merona dari Desa Sawarna

Desa Sawarna menawarkan aneka destinasi wisata menawan yang bisa dinikmati traveler. Jangan lupakan juga senjanya yang merah merona. Indah!

Dalam susunan imbuhan bahasa Sunda, sa berarti satu. Jadi Desa Sawarna bisa diartikan Desa satu warna. Tapi saya kurang setuju, karena kenyataannya Desa Sawarna memiliki begitu banyak pesona warna-warna yang memanjakan mata siapapun yang melihatnya.

Buat saya, Desa Sawarna = Desa Sa(juta)warna. Ini adalah cerita throwback saya escaping ke Sawarna beberapa tahun lalu, tepat seminggu sebelum ulang tahun saya yang ke sekian-sekian.

Bersama teman-teman WA Group yang memang hobi ngetrip dan totalnya 10 orang, kami dijemput oleh team leader operator travel dan memulai trip dari Jakarta menuju Desa Sawarna via Pelabuhan Ratu-Bayah Banten yang memakan waktu lebih kurang 7 jam perjalanan.

Di perjalanan, kita akan menemui cukup banyak kelokan, turun naik dan lumayan ajrut-ajrutan. Jadi kalau kamu ingin meng-skip bagian perjalanan yang melelahkan itu, saya sarankan untuk meminum obat anti mabuk perjalanan sebelum berangkat.

Touch-down Desa Sawarna & Menyebrangi Jembatan Gantung

Jam menunjukkan pukul 7.13 ketika kami berfoto bersama di bawah Papan Selamat Datang di Desa Sawarna. Cuaca pagi itu cukup cerah. Dengan antusias, kami bersepuluh plus Friko si pemandu bergegas menuju home stay yang sudah disiapkan.

Untuk masuk ke Desa Sawarna tersebut, kami harus menyebrangi jembatan gantung kayu. Ada perasaan senang sekaligus tegang saat berada di atas jembatan tersebut.

Senangnya; bagus untuk bikin-bikin story, sehingga jadinya betah berlama-lama,, tegangnya: karena berada di atas sungai yang lebarnya kurang lebih 20 meter. Di saat yang sama ternyata gak hanya manusia saja yang melintasinya, tapi juga sepeda motor dari 2 arah berlawanan pun ikut melintas di jembatan tersebut!

Dan ternyata kita akan menemukan jembatan-jembatan gantung kayu semacam ini lagi di Desa Sawarna. Keberadaan jembatan gantung ini memang sangat vital dan besar pengaruhnya untuk kelangsungan hidup & ekonomi masyarakat Desa Sawarna yang beberapa tahun ini memang sudah dicanangkan menjadi Desa Wisata oleh Pemerintah Provinsi Banten.

Selain mendapat pemasukan dari penyewaan homestay, potensi wisata di Desa Sawarna ini bisa menghasilkan berbagai mata pencaharian: pedagang, pengojek, perajin, pemandu wisata, lifeguard pantai, dll.

Dengan makin banyaknya wisatawan yang datang berkunjung, semoga saja jembatan-jembatan gantung tersebut bisa tetap dirawat dan dipelihara bahkan ke depannya bisa dibuat menjadi jembatan permanen. *puk-puk jembatan gantung yang tiap hari dilewatin berton-ton beban*

Bicara soal homestay; karena kami bersepuluh,, kami disediakan 2 kamar yang berdampingan dan hanya perlu berjalan kaki sekitar 10 menit untuk menuju Pantai Ciantir. Selain itu, lokasi homestay yang berdekatan dengan hamparan hijau persawahan, membuat kami sepakat berkomentar: INI HOMESTAY YANG MANTUL!

Fasilitas yang disediakan selama menginap 2 hari 1 malam di homestay: air gratis, kipas angin gratis, 3 kali makan (siang-malam-pagi) + minum teh gratis, free flow!

Asyiknya Menyusuri Sungai Martapura Banjarmasin

Banjarmasin di Kalimantan Selatan merupakan Kota yang terkenal punya banyak sungai. Menyusuri Sungai Martapura pun bisa jadi aktivitas menarik di sana.
Masyarakat Banjarmasin juga memanfaatkan air sungai sebagai jalur transportasi hingga mencuci kebutuhan sehari-hari. Sungai Martapura menjadi salah satu sungai yang membuat saya penasaran untuk melihat lebih dekat kehidupan di sana.

Perjalanan ke Banjarmasin dari Banjarbaru kurang lebih sekitar satu jam. Jika mengunjungi Banjarmasin sepertinya kurang kalau kita tidak mencoba menaiki Klotok menyusuri sungai. Klotok merupakan perahu menggunakan mesin yang digunakan masyarakan untuk sarana transportasi air. Biasanya mereka memanfaatkan Sungai Martapura sebagai jalur transportasi perdagangan.

Tiba di Dermaga Siring, sang Klotok sudah menunggu saya untuk bersiap mengantarkan menyusuri Sungai Martapura. Kapasitas Klotok bisa mencapai sepuluh orang lebih.

Suara gemuruh mesin diesel Klotok menjadi alunan pengiring dalam perjalanan. Langit yang biru merona juga menemani pagi itu. Tawa, canda, ceria dari teman-teman di bagian belakang Klotok mengawali perjalanan kita menyusuri sungai Martapura.

Dalam perjalanan banyak kita jumpai rumah-rumah kayu yang berdiri di atas aliran sungai Martapura. Tidak hanya rumah penduduk, rumah ibadah seperti musola dan masjid juga banyak kita lihat di sini. Rumah-rumah penduduk saling berdempetan dengan rumah lainnya.

Beberapa jembatan yang melintang di atas aliran sungai Martapura terlihat sangat rendah jaraknya dari bagian Klotok, sehingga kita harus menunduk sejenak hingga Klotok melewati bawah jembatan. Dari Klotok menghadap jembatan terlihat begitu padat kendaraan lalu lalang, menggambarkan aktifitas masyarakat Banjarmasin dengan rutinitasnya.

Masyarakat di tepian Sungai Martapura memanfaatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari mencuci pakaian, mandi dan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainya. Dahulu juga masyarakat Sungai Martapura memasak dan mengkonsumsinya.

Setelah menempuh perjalanan di Sungai Martapura, Klotok kami akhirnya melewati muara antar Sungai Martapura dengan Sungai Barito. Luasnya Sungai Barito ternyata terdapat pulau yang di huni oleh monyet-monyet liar. Masyarakat sekitar memberi nama tempat ini Hutan Wisata Pulau Kembang.

Pulau Kembang, banyak sekali monyet-monyet liar yang bisa kita temukan di sini. Tidak jarang monyet-monyet tersebut mengambil barang pribadi milik pengunjung yang datang, maka sangat di sarankan untuk barang berharga pribadi yang kita bawa sebaiknya di simpan terlebih dahulu di tas. Saat mengambil gambar menggunakan Smartphone ntuk selalu memperhatikan sekeliling aman dari jangkauan monyet liar.

Jembatan Barito, merupakan jembatan penghubung antara Banjarmasin ke Palangkaraya dan sebaliknya. Jembatan ini juga sering disebut jembatan Pulau Bakut.

Pulau Bakut merupakan pulau yang di huni oleh Bekantan. Populasi Bekantan sudah mulai langka dijumpai di Kalimantan, sehingga Pulau Bakut bisa menjadi rumah untuk habitat Bekantan yang sudah mulai punah.

Jembatan yang terbuat dari kayu di dalam kawasan Pulau Bakut menjadi spot menarik yang Instagramable buat kalangan anak muda. Dahan pohon di sisi kiri dan kanan jembatan kayu melindungi sengatan matahari di siang hari saat mengunjungi Pulau Bakut.

Pihak pengelola Pulau Bakut juga menyediakan menara pantau yang bisa digunakan untuk melihat Pulau Bakut dari atas. Dari situ akan telihat Jembatan Barito yang berwarna kuning membentang begitu megahnya.

Beberapa tempat menarik di sekitaran Sungai Martapura hingga sungai Barito sudah kita datangi, sekarang waktunya kita kembali ke Dermaga Siring. Dalam perjalan pulang kami menjumpai pedagang makanan yang terbilang unik menurut saya, sebab menawarkan makananya di atas Klotok. Mereka menjual makanan tradisional khas Banjarmasin.

Pagi hari setelah subuh biasanya para pedagang yang menjual aneka makanan dari atas Klotok saling menawarkan daganganya kepada pengunjung yang datang. Banjarmasin memang sangat terkenal akan Pasar Terapungnya di wilayah Indonesia.

Sungai merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Dari zaman leluhur mereka hingga saat ini Sungai Martapura dan Sungai Barito memberikan manfaat yang banyak.

Tidak hanya perahu kecil seukuran Klotok saja, tetapi Kapal Tongkang pengangkut Batu bara juga bisa mengapung di atas Sungai Barito. Dari jalur distribusi hingga digunakan kebutuhan sehari-hari kita bisa pakai menggunakan air sungai tersebut.